Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (
BI) mengoreksi skenario terburuk nilai tukar
rupiah yang bisa menyentuh kisaran Rp17.500 sampai Rp20 ribu per dolar AS menjadi Rp15 ribu pada tahun ini.
"Ada kecenderungan nilai tukar rupiah tidak hanya stabil, tapi ada kecenderungan akhir tahun ini mengarah ke Rp15 ribu per dolar AS," ucap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam
video conference, Kamis (2/4).
Ia memastikan rupiah tak akan anjlok hingga Rp17.500 per dolar AS atau Rp20 ribu per dolar AS pada akhir 2020. Angka sebelumnya merupakan skenario terburuk sebagai dampak dari penyebaran virus corona.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tegaskan itu angka skenario terburuk, bukan proyeksi. Lalu kami juga melakukan berbagai kebijakan dengan baik. Angka Rp17.500 per dolar AS dan Rp20 ribu per dolar AS skenario berat," terang Perry.
Perry juga menekankan bahwa BI bersama pemerintah akan berupaya agar pertumbuhan ekonomi tidak di bawah 2,3 persen. Angka itu dibuat sebagai skenario berat apabila ekonomi memburuk karena virus corona.
"Pertumbuhan ekonomi kami upayakan tidak lebih rendah dari 2,3 persen dengan langkah stimulus fiskal," jelas Perry.
Pagi ini, rupiah terpantau berada di level Rp16.525 per dolar AS. Angkanya melemah 0,46 persen dibandingkan penutupan kemarin yang berada di level Rp16.450 per dolar AS.
Mengutip
RTI Infokom, rupiah tercatat terkoreksi sebesar 0,89 persen dalam seminggu terakhir. Sementara, jika dilihat dalam hitungan satu bulan, rupiah sudah anjlok hingga 16,09 persen.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan koreksi rupiah pagi ini disebabkan oleh turunnya data Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur.
Data itu turun ke level terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI sejak April 2011. IHS Markit melaporkan PMI Indonesia pada Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9.
"Virus corona adalah biang keladinya. Untuk meredam penyebaran corona maka masyarakat dianjurkan untuk tinggal di rumah. Ini membuat roda perekonomian berjalan sangat lambat," kata Ibrahim.
Tak hanya Indonesia, data manufaktur dari Asia dan Eropa juga menunjukkan perlambatan. PMI manufaktur hampir semua negara baik di Asia maupun Eropa mengalami kontraksi di bawah 50.
"Kecuali China yang berada di luar dugaan yakni 52," pungkas dia.
[Gambas:Video CNN] (aud/age)