Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (
Apindo) meyakini bahwa Presiden Joko Widodo (
Jokowi) tidak akan membatalkan kluster ketenagakerjaan dalam
omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (
RUU Ciptaker), meski saat ini pembahasannya ditunda.
Sebab, menurut Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani justru kluster ketenagakerjaan sangat dibutuhkan saat ini karena pandemi virus corona atau Covid-19 telah menimbulkan tekanan ekonomi bagi perusahaan dan tenaga kerja. Bahkan, telah memunculkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan tidak berarti pembatalan, semestinya justru memacu semua untuk membahas omnibus law secara lebih intensif mengingat pasca-pandemi diperlukan penciptaan lapangan kerja masif untuk menyerap korban PHK maupun tenaga kerja baru," ungkap Hariyadi dalam keterangan tertulis, Selasa (28/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Apindo, ketidakadaan kluster ketenagakerjaan hanya akan menimbulkan kerugian.
Pertama, peluang menarik investasi padat karya bisa semakin kecil, termasuk industri yang menggunakan teknologi rendah.
Misalnya, industri tekstil dan produk tekstil, sepatu dan alas kaki, elektronik, makanan dan minuman, serta lainnya. Padahal, para industri ini sangat dibutuhkan untuk menyerap tenaga kerja usia produktif Indonesia yang besar.
"Apalagi tingkat pengangguran masih tinggi yaitu 7 juta orang, belum termasuk setengah pengangguran yang bekerja hanya beberapa jam seminggu," jelasnya.
Untuk itu, menurut Apindo, pembahasan kluster ketenagakerjaan perlu tetap dilanjutkan agar memberi kepastian bagi sektor tenaga kerja. Sebab, tanpa kepastian ini, investasi yang masuk ke Tanah Air pada akhirnya hanya menumpuk ke investasi padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Hal ini, katanya, tercermin dari realisasi penurunan penyerapan tenaga kerja dari tahun ke tahun, meski nominal investasi terus meningkat. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), aliran investasi ke dalam negeri mencapai Rp809,6 triliun pada 2019, namun tenaga kerja yang terserap hanya 1,03 juta orang.
Sementara pada 2013, nominal investasi sebesar Rp398,6 triliun, namun serapan tenaga kerja mencapai 1,82 juta orang. "Saat ini Rp1 triliun investasi hanya menyerap 1.277 tenaga kerja, jauh menurun dibanding 2013, di mana setiap Rp1 triliun investasi menyerap 4.594 tenaga kerja walaupun total investasi meningkat 2,7 kali lipat," katanya.
Lebih lanjut, bila pemerintah tidak bisa menciptakan lapangan kerja, maka akan semakin banyak masyarakat yang masuk kategori miskin. Pada akhirnya, beban subsidi dan bantuan sosial pun meningkat.
Saat ini pun, katanya, sudah meningkat, di mana jumlah penerima subsidi listrik mencapai 98,6 juta orang atau 37,2 persen dari populasi penduduk mencapai 265 juta orang. Begitu pula dengan jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan mencapai 96,8 juta orang atau 36,5 persen dari populasi.
"Kondisi penyerapan tenaga kerja yang terus semakin menyusut mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat semakin melemah. Bila hal ini dibiarkan rakyatnya tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor formal," terangnya.
Sementara bagi dunia usaha, ketidakhadiran kluster ketenagakerjaan di RUU Ciptaker akan menimbulkan risiko perseteruan antara perusahaan dan tenaga kerja ke depan terkait gaji dan pesangon. "Dispute yang berkepanjangan menguras waktu dan perhatian untuk mengembangkan usaha," tuturnya.
Selain itu, tanpa kluster ini, RUU Cilaka dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan jenis pekerja di masa depan yang memerlukan fleksibilitas waktu mingguan, harian, bahkan jam. Hal ini sejalan dengan perubahan kebutuhan industri di era 4.0.
Tak hanya berpotensi membebani tenaga kerja dan perusahaan skala besar, Hariyadi mengatakan ketidakadaan kluster ini turut menghambat peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sebab, usaha kecil dinilai akan sulit berkembang untuk bisa memenuhi kriteria penggunaan tenaga kerja yang sesuai dengan persaingan industri dari sisi jam kerja, upah, hingga perlindungan sosial.
Mengutip studi Bank Dunia, Apindo menyatakan sekitar 50 persen pekerja di Indonesia masih menerima upah di bawah Rp800 ribu per bulan dan 25 persen lain menerima upah hanya Rp420 ribu per bulan. Survei lain dari JETRO menyatakan Indonesia kerap sulit menarik investasi karena soal pengupahan.
"Jangan sampai kehilangan momentum untuk menarik industri manufaktur ke Indonesia dan semakin tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam. Bahkan, potensial terkejar oleh negara-negara ASEAN lainnya seperti Kamboja, Myanmar, Laos yang terus cepat mengatasi ketertinggalannya," ucapnya.
Tak ketinggalan, Apindo meminta para asosiasi serikat buruh yang menentang pembahasan omnibus law RUU Ciptaker agar bisa menunjukkan empati kepada niat penciptaan aturan ini, khususnya kluster ketenagakerjaan.
Sebelumnya, Jokowi menyatakan menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker. Keputusan ini pun sudah dikomunikasikan ke DPR.
"Hal ini juga untuk memberikan kesempatan kepada kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan," kata kepala negara.
Penundaan ini memberi sinyal bahwa Jokowi mendengarkan tekanan dari para asosiasi buruh yang terus mendesak pembatalan
omnibus law RUU Ciptaker karena dianggap lebih banyak merugikan pekerja. Bahkan, tadinya, para buruh akan menggelar demo pada 30 April 2020. Namun, rencana itu akhirnya batal karena keputusan penundaan dari Jokowi.
[Gambas:Video CNN] (uli/age)