Jakarta, CNN Indonesia -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (
KSPI) menolak Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan
Ida Fauziyah terkait kelonggaran pencairan
THR bagi pengusaha yang tak mampu. Bahkan, KSPI akan menggugat SE tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Ketua KSPI Said Iqbal mengatakan, SE bernomor M/6/HI.00.01/V/2020 tersebut tidak sah karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang mewajibkan pengusaha membayar THR 100 persen kepada para buruh..
"Minggu depan KSPI akan menggugat ke PTUN terhadap SE Kemenaker tersebut," tegas Said kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (9/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Said juga menegaskan bahwa Pasal 7 PP 78/2015 menyatakan THR wajib diberikan paling lambat sepekan hari sebelum hari raya keagamaan. Sementara dalam Pasal 58, pengusaha yang terlambat membayarkan THR akan didenda sebesar 5 persen per hari sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha.
Artinya, jika pengusaha mencicil THR, KSPI bakal menuntut denda seperti tertuang dalam beleid tersebut.
"KSPI akan menuntut perusahaan untuk membayar denda, kalau mau pakai SE Kemenaker. Karena yang dijadikan payung hukum THR itu PP 78, dan SE kemenaker bertentangan dengan PP 78," ujarnya.
Menurut Said Iqbal, keluarnya SE Menaker soal pelonggaran THR tersebut juga memperlihatkan sikap pemerintah yang lebih mementingkan pengusaha ketimbang pekerja. Kebijakan tersebut juga rentan diselewengkan oleh pengusaha untuk menghindar dari kewajibannya.
Apalagi, tak ada indikator yang jelas terkait perusahaan yang mampu atau tak mampu membayarkan THR.
"Harusnya dijelaskan dalam SE itu, THR wajib dibayar. Baru, apabila tidak mampu setelah dibuktikan dengan audit laporan keuangan dan neraca setahun berjalan, dia berunding dengan serikat buruh soal THR-nya," imbuh Said.
Senada, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih menilai bahwa SE soal kelonggaran pembayaran THR menunjukkan rendahnya kapabilitas Menaker sebagai representasi negara yang ditugasi untuk melindungi hak-hak buruh.
Ia juga menyebut bahwa Ida Fauziyah tak belajar dari Kegagalan SE Menaker Nomor M/3/HK/04/III/2020 yang pada intinya mengimbau perusahaan untuk mengadakan perundingan sebelum merumahkan buruh.
Pasalnya, SE ini terbukti tak efektif karena begitu banyak perusahaan yang melakukan PHK atau merumahkan pekerja tanpa perundingan mengenai pembayaran upah.
[Gambas:Video CNN]Di samping itu, SE soal kelonggaran pembayaran THR juga mengeneralisasi semua perusahaan seolah kemampuannya sama. Padahal situasi covid-19 ini juga tidak bisa serta merta disebut
force majeur atau keadaan memaksa (
overmacht) karena harus dilihat kasus per kasus atas kemampuan dan kondisi setiap perusahaan.
"Kami secara organisasional menolak SE No. M/6/HI.00.01/V/2020 tersebut, karena SE tersebut justru memberi celah kepada pengusaha untuk menunda atau tidak membayar THR kepada buruh," tandas Jumisih dalam keterangan resmi terpisah.
(hrf/sfr)