Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menuturkan implementasi protokol pencegahan penularan covid-19 di sektor perhotelan mengerek biaya operasional.
Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran mengatakan kenaikan tersebut menjadi beban bagi pengelola terlebih setelah tutup dan sepi pengunjung selama kurang lebih tiga bulan. Walaupun, di sisi lain kenaikannya terbilang kecil.
"Jadi masalah disinfektan akan menjadi biaya tambahan yang cukup lumayan walaupun itu sifatnya mungkin kecil, berapa persennya tidak sampai 10 persen untuk penambahan dana," ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu (24/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tambahan biaya itu dirasa berat bagi pengelola hotel lantaran mereka tidak bisa mengurangi biaya operasional, salah satunya listrik. Pasalnya, PT PLN (Persero) tidak bisa memberikan pelonggaran biaya minimal pemakaian tarif listrik meskipun hotel tidak beroperasi selama pandemi ini.
Oleh sebab itu, banyak pengusaha yang masih menutup hotelnya ketimbang menanggung beban biaya operasional. Selain itu, meskipun PSBB dilonggarkan tak serta merta menarik kembali pelanggan untuk berkunjung ke hotel.
"Mungkin itu yang bisa digambarkan, jadi bebannya ada di sana dan kenapa kebutuhan modal kerja menjadi penting itu adalah untuk bisa bangkit lagi," ucapnya.
Ia menuturkan pengusaha hotel kini memutar otak untuk menggaet kembali pelanggan. Salah satunya dengan menawarkan voucher yang bisa dibeli sekarang untuk dimanfaatkan kemudian hari.
Managing Director Institute of Developing Economies & Entrepreneurship Sutrisno Iwantono menambahkan pemilik hotel juga terbebani dengan biaya rapid tes karyawan. Ia menuturkan setiap karyawan membutuhkan biaya kurang lebih Rp900 ribu dalam sebulan untuk melakukan rapid tes sebanyak dua kali.
Besarnya biaya itu, lanjutnya, tidak bisa ditanggung oleh semua hotel. Dari survei yang dilakukan oleh PHRI, sebanyak 50 persen pengusaha hotel hanya mampu bertahan selama tiga bulan saja akibat pandemi.
"Rapid tes itu biayanya antara Rp300 ribu-Rp550 ribu sekali rapid tes, kalau 2 kali sudah Rp900 ribu itu sudah tidak mungkin ditanggung oleh hotel kecil non bintang," paparnya.
Selain itu, kata dia, pengusaha hotel masih harus menanggung biaya reklame iklan meskipun hotel tutup. Dengan biaya-biaya tersebut, ia menuturkan sulit bagi pengusaha melakukan efisiensi biaya operasional.
"Efisiensi biaya sulit sekali, yang bisa dilakukan hanya merumahkan 50 persen karyawan, jadi yang menjadi korban tenaga kerja," katanya.