Bank Dunia memperkirakan Indonesia membutuhkan anggaran US$71 miliar atau setara Rp1.005 triliun untuk memenuhi kebutuhan rumah masyarakat.
Proyeksi ini tertuang dalam kajian bertajuk The World Bank's 2020 Indonesia Public Expenditure Review of Government Spending yang dikeluarkan belum lama ini. Perkiraan ini berdasarkan asumsi pemenuhan kebutuhan rumah hanya ditutup oleh pendanaan publik.
"Untuk mengatasi kebutuhan secara kuantitatif saja akan membutuhkan sekitar Rp1.005 triliun atau US$71 miliar atau hampir setengah dari total belanja publik," ungkap Bank Dunia dalam kajiannya, dikutip Selasa (30/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai gambaran, saat ini pemerintah mengasumsikan belanja negara mencapai Rp2.739,16 triliun di APBN 2020. Nominal itu merupakan pagu penyesuaian karena perubahan postur di tengah tekanan pandemi virus corona atau covid-19.
Dengan proyeksi tersebut maka setidaknya perlu sekitar Rp38,6 triliun per tahun untuk pembangunan rumah masyarakat. Jumlah itu muncul dari rata-rata belanja publik untuk perumahan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2012-2015 anggaran perumahan sekitar berkisar Rp30 triliun. Namun, jumlahnya naik menjadi Rp40 triliun pada 2016-2018.
Dengan asumsi ini, Bank Dunia memperkirakan Indonesia perlu 26 tahun untuk bisa memenuhi seluruh kebutuhan perumahan di dalam negeri. Proyeksi ini pun sudah mencakup potensi penambahan investasi untuk mendorong peningkatan kualitas rumah yang saat ini masih tidak layak huni.
"Jika pemerintah Indonesia mempertahankan tingkat belanja saat ini untuk perumahan tanpa melibatkan sektor swasta, akan diperlukan waktu 26 tahun untuk menutup kesenjangan," tulis Bank Dunia.
Untuk itu, Bank Dunia melihat pemerintah perlu melibatkan sektor swasta untuk ikut membantu pemenuhan belanja perumahan. Hal ini jauh lebih efektif daripada menambah aliran dana untuk perumahan dari kantong negara.
Sebab pendanaan dari swasta bisa memberi dampak ekonomi yang lebih besar. Misalnya, jumlah pekerja yang diperlukan lebih banyak sehingga memungkinkan rekrutmen, investasi yang masuk lebih beragam, dan bisnis properti bergerak.
Menurutnya, hal ini juga lebih efisien karena jumlah kebutuhan perumahan masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu. Tahun ini saja setidaknya kebutuhan perumahan mencapai 12,1 juta unit.
"Proyeksi pertumbuhan penduduk perkotaan menyoroti kebutuhan perumahan untuk 780 ribu rumah tangga baru per tahun hingga 2045," terang Bank Dunia.
Selain itu, keterlibatan swasta juga perlu karena subsidi perumahan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Proyeksinya, dana subsidi mencapai Rp58 juta sampai Rp61 juta per unit rumah, baik dengan skema FLPP maupun SSB.
Jika dikalikan dengan jumlah rata-rata unit rumah subsidi sekitar 260 ribu per tahun, maka pemerintah perlu menyiapkan anggaran subsidi perumahan mencapai Rp14 triliun atau Rp1,3 triliun per tahun selama masa pinjaman 20 tahun.
"Subsidi tersebut memakan biaya yang mahal dan kemungkinan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang, menciptakan utang jangka panjang, dan risiko tingkat bunga," jelas Bank Dunia.