Ekonom mewanti-wanti pemerintah agar tidak terburu-buru membahas rencana penyederhanaan digit mata uang atau redenominasi rupiah. Tahun ini, pemerintah sebaiknya fokus menangani pandemi virus corona.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan perlu jangka waktu cukup panjang untuk membahas kembali pengubahan mata uang dengan menghilangkan tiga angka nol tersebut.
"Sebelumnya diwacanakan, tapi masih butuh waktu karena diperlukan kondisi yang cenderung stabil dan kalau di tengah kondisi covid-19 belum bisa dikatakan tepat karena kita perlu struggling dengan penanganan Covid-19," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (7/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, timing yang tidak tepat dalam pemberlakuan redenominasi rupiah akan memicu inflasi tinggi seperti yang terjadi di Turki. Pada 2003, pemerintah Turki mengesahkan UU redenominasi yang menghapus enam nol di mata uang lira.
"Timing yang salah saat pemberlakuan implementasi dampaknya bisa negatif. Misalnya Turki kan sempat redenominasi tapi timing-nya enggak tepat sehingga inflasinya sempat melonjak," ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri. Ia menuturkan redenominasi belum begitu mendesak jika dibahas di tahun ini. Kendati demikian, ia sepakat dengan rencana kementerian keuangan jika pembahasannya berlangsung pada periode 2021 hingga 2024.
Pasalnya, pemerintah saat ini perlu memastikan ekonomi Indonesia stabil dalam beberapa waktu ke depan. Paling tidak, menurutnya, redenominasi membutuhkan masa transisi 7 tahun. Redenominasi ini tak serta merta penyederhanaan angka, tapi juga disertai penyesuaian harga barang dan jasa.
Lihat juga:JK Sebut Redenominasi Rupiah Belum Mendesak |
"Kalau membahas sekarang kemudian menjalankan 6 tahun lagi tidak masalah. Karena memang kita membutuhkan dan ini kan harus dipastikan enggak ada pengaruhnya terhadap harga atau nilai uangnya," tutur Yose.
Lagipula, menurut Yose, redenominasi rupiah memiliki fungsi yang strategis. Dengan redenominasi, angka dalam rupiah menjadi lebih sederhana dan memudahkan persoalan administrasi
"Kalau terlalu banyak nol nya ada permasalahan di akunting dan komputing. Ada inefisiensi kalau ke depannya kita udah beralih ke ekonomi digital. Di e-commerce saja sudah banyak yang memulai angka nol nya sudah dibuang tiga di belakang," ucapnya.
Namun, ia meminta pemerintah juga berhati-hati terhadap efek psikologis yang dapat menyebabkan kebijakan redenominasi terhambat. Misalnya akan terjadi kenaikan inflasi lantaran redenominasi akan mendorong pembulatan harga ke atas pada barang-barang.
"Makanya harus dikomunikasikan dengan baik untuk meminimalisir efek psikologis kepada masyarakat. Selama ini belum ada upaya tersebut. Kalau RUU tersebut kan ada masa transisi dan menurut saya baru bisa di 2030," imbuhnya.
Sebagai informasi, usulan pembahasan kembali redenominasi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 77/2020 tentang rencana Strategis Kementerian Keuangan tahun 2020-2024.
Dalam beleid itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memasukkan Rancangan Undang-undang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) sebagai salah satu ruu yang diusulkan masuk pada Program Legislasi Nasional Jangka Menengah (Prolegnas) periode 2020-2024 dalam rangka mencapai tujuan dan strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sri Mulyani menerangkan urgensi penyusunan RUU Redenominasi adalah peningkatan efisiensi perekonomian, salah satunya melalui waktu transaksi yang lebih cepat.
Selain itu, redenominasi juga dapat menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena jumlah digit rupiah yang lebih sedikit.