Presiden Joko Widodo (Jokowi) dihadapkan pada pilihan sulit. Di satu sisi, ia dihadapkan pada masalah resesi yang menghantui ekonomi dalam negeri.
Di sisi lain, ia juga dihadapkan pada peningkatan kasus corona. Untuk masalah resesi, ia sudah memperkirakan ekonomi dalam negeri akan minus 4,3 persen pada kuartal II 2020.
Kalau prediksi itu benar dan kondisi pertumbuhan minus berlanjut pada kuartal III, sudah dipastikan ekonomi Indonesia terjerumus dalam resesi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara berkaitan peningkatan corona, ia memprediksi puncak pandemi covid-19 terjadi pada periode Agustus September. Namun prediksi ini bisa berubah jika kasus corona terus melonjak.
"Kalau melihat angka-angka memang nanti perkiraan puncaknya ada di Agustus atau September, perkiraan terakhir. Tapi kalau kita tidak melakukan sesuatu, ya bisa angkanya berbeda," ujar Jokowi pada Senin (13/7) lalu.
Di lain pihak, kepala negara juga menyatakan momentum menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi adalah kuartal III 2020, atau periode Juli, Agustus, dan September. Jika gagal memanfaatkan momentum itu, dipastikan Indonesia akan masuk jurang resesi lantaran ekonomi diprediksi negatif pada kuartal II 2020.
"Momentumnya adalah di Juli, Agustus, dan September, kuartal III. Kalau kita tidak bisa mengungkit di kuartal III, jangan berharap kuartal IV akan bisa, sudah," ujar Jokowi pada Rabu (15/7) lalu.
Itu berarti, momentum emas menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi ekonomi bertepatan dengan prediksi puncak virus corona.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai mimpi itu sulit. Menurutnya, puncak pandemi dan pertumbuhan ekonomi akan berbanding terbalik.
Artinya, jika kasus infeksi masih tinggi, sulit bagi ekonomi untuk dipacu kembali. Sebaliknya, laju ekonomi mulai kembali merangkak naik apabila kurva Covid-19 di sebuah negara sudah melandai.
"Menurut saya menjadi kurang relevan kalau puncak berjalan bersama," ujar Tauhid kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/7).
Ia meyakini meski pemerintah telah memberikan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan dalih menggenjot ekonomi, upaya itu tak bisa berjalan maksimal.
Alasannya, konsumen masih menahan diri untuk melakukan interaksi fisik selama virus corona masih menghantui.
Atas dasar itu, ia memperkirakan Indonesia mengalami resesi ekonomi. Terlebih, penyaluran stimulus yang disiapkan pemerintah kurang efektif ditandai dengan penyerapan rendah.
"Saya meyakini terjadi resesi karena kita belum pada titik arus balik pandemi," imbuhnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan pemerintah segera menekan kurva covid-19 jika ingin bebas dari keterpurukan ekonomi. Jika perlu, ia mengusulkan pemerintah kembali memberlakukan PSBB dengan lebih ketat sehingga penularan virus corona bisa ditekan.
Menurutnya, logika berpikir tersebut telah terbukti ketika ekonomi China mulai bangkit usai babak belur dihantam pandemi virus corona.
Pertumbuhan ekonomi secara mengejutkan mencapai 3,2 persen pada kuartal II 2020, dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sebagai perbandingan, ekonomi China mengalami kontraksi hingga minus 6,8 persen di kuartal I 2020 karena pemerintahan mereka memutuskan untuk mengambil langkah penguncian wilayah (lockdown).
Lihat juga:Alarm Resesi Ekonomi dari Singapura Berbunyi |
Namun, lockdown terbukti efektif menekan penyebaran virus corona sehingga Negeri Tirai Bambu itu mencatatkan tidak ada tambahan kasus positif.
"Jadi kembali pada filosofi bahwa ekonomi kita akan terombang-ambing disandera pandemi yang tidak tahu kapan berakhir," ucapnya.
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan belajar dari pengalaman negara lain, agak sulit berharap proses pemulihan ekonomi bisa dilakukan secara optimal jika tren kasus meningkat. Selain itu, beberapa kajian juga mendukung fakta ini.
Salah satunya, kajian dari ekonom dana Moneter Internasional (IMF) Sophia Chen. Hasil kajian mereka di AS menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya akan membatasi aktivitasnya meskipun status lockdown sudah dicabut.
"Artinya masyarakat masih membatasi diri secara sukarela karena di AS tren kasus Covid-19 masih mengalami peningkatan," katanya.
Menurutnya, hasil kajian tersebut relevan dengan Indonesia, karena tren Covid-19 juga masih meningkat. Asumsinya, kata dia, masyarakat masih membatasi kegiatan sehingga ekonomi juga tidak akan pulih. Imbasnya, proses pemulihan ekonomi juga sulit dilakukan secara optimal.
"Apa yang disampaikan pak Jokowi juga sebenarnya bisa dijadikan alarm awal bahwa memang potensi resesi ekonomi di Indonesia tahun ini semakin besar," katanya.
(agt)