Menkeu Era SBY Kritik Pelonggaran PSBB Terhadap Ekonomi

CNN Indonesia
Selasa, 11 Agu 2020 15:23 WIB
Menkeu era SBY Chatib Basri menilai pelonggaran PSBB memang dapat membalikkan ekonomi secara tajam. Namun, setelah efeknya mereda, keadaan tidak membaik.
Chatib Basri menilai pelonggaran PSBB dapat membalikkan ekonomi secara tajam namun setelah itu efeknya mereda dan tak memperbaiki keadaan. (Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Muhamad Chatib Basri berpendapat pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hanya memberikan efek sesaat terhadap perekonomian nasional. Pasalnya, pemerintah belum bisa sepenuhnya mengendalikan pandemi virus corona.

Penilaian Chatib sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC). Dari survei terbaru menunjukkan masyarakat memandang ekonomi terburuk terjadi pada Mei 2020 lalu, kemudian membaik pada Juni 2020 ketika PSBB sudah dilonggarkan.

Namun, persepsi masyarakat terhadap ekonomi kembali memburuk pada Juli-Agustus 2020.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Survei itu juga konsisten dengan hasil Google Mobility Index yang menunjukkan aktivitas naik signifikan pada akhir Mei 2020. Kemudian, kembali stagnan sejak Juni 2020.

"Bagaimana menjelaskan ini? Dugaan saya, re-opening memang mendorong pembalikan ekonomi secara tajam namun setelah itu efeknya mereda dan tak memperbaiki keadaan," ungkap Chatib, dikutip dari akun pribadi Twitternya @ChatibBasri, Selasa (11/8).

Ia menyatakan skema protokol kesehatan tetap harus dijalankan selama pandemi virus corona belum bisa teratasi 100 persen. Selama protokol diberlakukan, pemerintah juga harus mempertimbangkan skala ekonomis bagi pengusaha.

"Jika skala ekonomis tidak terpenuhi maka perusahaan akan merugi. Tidak ada insentif untuk ekspansi usaha. Selain itu selama pandemi belum bisa dikendalikan kelas menengah tetap menunda konsumsi," jelas Chatib.

Chatib menilai kelas menengah atas menahan belanja karena kekhawatirannya terhadap pandemi cukup tinggi. Dengan situasi seperti ini, belanja pemerintah menjadi kunci pendorong ekonomi nasional.

"(Namun) masalahnya penyerapannya lambat, karena itu mungkin stimulus diarahkan kepada sektor yang penyerapannya tinggi seperti bantuan sosial (bansos), terutama bantuan langsung tunai (BLT)," jelas Chatib.

Untuk itu, ia mengingatkan pemerintah bahwa fokus kebijakan yang harus diambil dalam jangka pendek adalah mengatasi pandemi virus corona dan mendorong permintaan. Selama pandemi tak bisa diatasi, ekonomi tak akan pulih 100 persen.

"Baru setelah situasi kembali normal maka penurunan bunga, penjaminan kredit, insentif usaha akan efektif, karena itu kebijakan harus dibuat dalam sequence dan data depedence," ucap pria yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk ini.

Seperti diketahui, ekonomi Indonesia jatuh hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Ini menjadi yang pertama kali sejak kuartal I 1999 yang tercatat minus 6,13 persen.

Seluruh komponen berdasarkan pengeluaran pun terkontraksi. Konsumsi rumah tangga tercatat minus 5,51 persen, investasi minus 8,61 persen, ekspor minus 11,66 persen, konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 7,76 persen, dan impor minus 16,96 persen.

Bahkan, konsumsi pemerintah yang seharusnya dapat menjadi kebijakan untuk melawan arus siklus bisnis (countercyclical) malah ikut terseret arus dengan minus 6,9 persen.

Hal yang sama terjadi pada mayoritas sektor usaha yang pertumbuhannya merah sepanjang April-Juni 2020. Sektor transportasi dan pergudangan menjadi yang paling parah karena anjlok hingga 30,84 persen.

[Gambas:Video CNN]



(aud/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER