Indonesia berhasil mendapatkan pembayaran berbasis hasil (result base payment/RBP) sebesar US$103,78 juta. Pembayaran itu diberikan oleh Green Climate Fund (GFC), yakni komunitas global di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) yang bertujuan untuk membantu negara-negara berkembang melakukan adaptasi dan mitigasi melawan perubahan iklim.
Menteri Lingkungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan Indonesia berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan dengan substansi lain yang terkait yakni gambut, partisipasi masyarakat, masyarakat adat, dan lain-lain (REDD+). Keberhasilan itu mendapatkan pengakuan dari komunitas global.
"Pengakuan itu berupa persetujuan dari komunitas Global Climate Fund untuk mengucurkan dana senilai US$103,78 juta untuk pembayaran kinerja disebut sebagai skema result base payment dari program REDD+," ujarnya melalui konferensi virtual, Kamis (27/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan laporan penurunan emisi tersebut telah diverifikasi oleh tim teknis independen yang ditunjuk oleh UNFCCC. Laporan tim teknis independen itu menjadi salah satu syarat utama pengucuran dana.
"Jadi ini bukan klaim Indonesia sepihak tetapi klaim ini telah diverifikasi kebenaran data dan konsistensi metodologinya oleh tim teknis independen yang ditunjuk oleh UNFCCC," imbuhnya.
Ia menyatakan Indonesia sendiri telah melakukan program REDD+ sejak 2017 lalu. Sejumlah kegiatan yang dilakukan meliputi pembangunan sistem register nasional (SRN) yang merupakan sistem untuk melakukan pencatatan, analisis, serta penyediaan informasi kebijakan, aksi mitigasi, dan lainnya.
Kementerian LHK juga mengembangkan sistem pendeteksi dini untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan serta lahan. Program REDD+ lainnya meliputi dukungan untuk program kehutanan sosial dan resolusi konflik, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, dan sebagainya.
Terkait deforestasi, ia menuturkan angkanya menunjukkan tren penurunan. Angka deforestasi tertinggi tercatat sebesar 3,51 juta hektar (ha) lahan per tahun pada periode 1996-2000.
Lalu periode 2003-2009 angka deforestasi sebesar 1,08 juta ha lahan per tahun. Kemudian, laju deforestasi turun hingga mencapai angka terendah yaitu 400 ribu ha lahan per tahun pada periode 2013-2014. Sedangkan selama periode 2011-2017 angka deforestasi 674 ribu ha lahan per tahun.
"Yang sudah diverifikasi adalah angka sampai 2017 dan ini angka yang mendapatkan reward dari GCF setelah pada waktu yang lalu juga dapat reward dari Norwegia," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan dana yang diterima oleh Indonesia lebih besar dibandingkan sejumlah negara penerima GCF lainnya.
Meliputi, Brazil sebesar US$96,45 juta pada 2018 lalu, Ekuador US$18,57 juta pada 2019, Cili US$63,60 juta pada 2019, dan Paraguai US$50 juta pada 2019.
"Pembayaran yang hari ini diumumkan lebih tinggi dari Brasil yang memiliki hutan amazon," ucapnya.
Bendahara negara menuturkan selama lima tahun terakhir, rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim senilai Rp89,6 triliun per tahun. Jumlah tersebut setara 3,9 persen alokasi dari APBN.
Sementara itu, total kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target penurunan emisi di 2030 mencapai US$247,2 miliar setara Rp3.461 triliun. Jumlah itu setara US$19 miliar setiap tahunnya, atau sekitar Rp266,2 triliun per tahun.
"APBN telah mendanai 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim berdasarkan laporan pemerintah kepada UNFCCC di 2018," katanya.
Nantinya, dana pembayaran dari GCF tersebut akan dikelola oleh badan pembina lingkungan hidup yang merupakan BLU yang dikelola oleh Kementerian Keuangan. Dana tersebut akan digunakan untuk mendanai berbagai aktivitas dan program pengelolaan lingkungan hidup.