Peluang Indonesia untuk masuk ke jurang resesi pada akhir kuartal III 2020 semakin terbuka lebar. Lihatlah, belanja pemerintah belum mampu mengungkit kembali ekonomi yang lesu akibat pandemi covid-19.
Sejumlah ekonom menilai proyeksi pemerintah bahwa pemulihan ekonomi dapat berlangsung pada akhir tahun ini terlampau optimistis. Istilahnya, isapan jempol karena tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri, misalnya, memprediksi pemulihan baru terjadi pada akhir 2021 mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kontraksi ekonomi berkepanjangan itu disebabkan gagalnya pemerintah dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang jadi penyebab macetnya aktivitas perekonomian.
"Sekarang masalah utamanya bukan lagi belanja pemerintah, karena meskipun belanja digenjot, orang masih enggan untuk keluarkan uangnya karena kekhawatiran terhadap kesehatan mereka," ucap Yose saat dihubungi CNNIndonesia.com Rabu (2/9).
Menurut Yose, kemampuan Indonesia untuk pulih dari fase resesi juga makin rendah karena belanja pemerintah untuk menopang konsumsi di tahun depan kian terbatas. Ditambah, pemerintah harus mulai menurunkan defisit fiskalnya ke bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 2023.
Di sisi lain, Indonesia juga terancam kehilangan investasi asing, baik di pasar uang maupun penanaman modal langsung karena gagal rebound pada akhir tahun ini.
Selama ini, sambung Yose, investor masih melirik Indonesia karena kontraksi perekonomiannya tidak sebesar negara-negara lain yang mencapai lebih dari lima persen. Namun ketika negara-negara lain mulai bisa menyelesaikan masalah covid-19 dan masuk ke fase pemulihan Indonesia akan segera ditinggalkan.
"Ketika negara-negara lain defisitnya mulai turun, dan kembali pulih, mereka bisa melepas portofolionya dan tak lagi melirik Indonesia untuk relokasi Investasi. Karena mereka lihat prospek jangka panjang. Indonesia dengan kasus covid-19 yang masih tinggi bukan tempat aman untuk investasi," jelasnya.
Oleh karena itulah, pemerintah perlu memperbaiki program-program pengendalian covid-19 yang selama ini belum optimal. Ia tak menyarankan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai solusi karena terbukti tak efektif, melainkan meminta agar program testing, tracking dan isolating ditingkatkan.
"Kalau dibandingkan negara-negara lain, kapasitas tes covid-19 di Indonesia masih rendah. Tracing ratio juga masih di angka 6 persen dan banyak yang diminta isolasi mandiri. Siapa yang bisa memastikan yang diisolasi enggak akan kemana-mana?" tutur Yose.
Hal serupa juga disampaikan Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi. Ia memprediksi ekonomi sepanjang 2020 akan tumbuh negatif di kisaran -0,8 persen sampai -0,2 persen karena kasus positif virus corona tak menurun hingga September 2020.
Menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi yang minus ini akan membawa Indonesia berujung pada depresi ekonomi. Dampak jangka panjangnya ekonomi RI akan tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Menurutnya, kondisi tersebut terjadi lantaran aktor-aktor perekonomian, seperti tenaga kerja, industri, dan rumah tangga kehilangan kemampuan ekonomi dan produktivitasnya atau mengalami economic hyteresis.
"Ini yang harus kita waspadai. Jangan sampai resesi berujung depresi ekonomi. Harus ditopang harus segera (di kuartal tiga 2020)," imbuh dia.
Lihat juga:Jokowi Bersiap Hadapi Resesi September Ini |
Namun, ia mengingatkan Indonesia masih punya kekuatan cukup untuk bisa membalikkan keadaan. Salah satunya dengan memastikan vaksin yang diproduksi akan efektif menurunkan angka penularan.
Kekuatan lainnya adalah mulai menggeliatnya sektor manufaktur yang kontribusinya cukup besar sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Indeks Purchasing Managers Index (PMI) Agustus sudah berada di posisi 50,8 persen dan itu artinya tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat.
"Aktivitas ekspor juga cukup bagus. Karena kita lihat neraca perdagangan yang surplus US$3,26 miliar secara Juli 2020 lalu. Ini bukan karena impor turun tapi ekspor yang naik. Ini bagus ketika manufaktur sudah kembali bergeliat," ucapnya.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga harus menjaga konsumsi tetap tumbuh. Caranya, lagi-lagi, dengan meminimalisir penyebaran covid-19 agar masyarakat tak takut membelanjakan uangnya dan sektor-sektor usaha yang selama ini terhenti dapat beroperasi kembali.
Salah satunya adalah sektor pariwisata yang punya mulitlplier effect (efek domino) cukup besar. Jika pemeirntah ingin kelas menengah ke atas menggelontorkan uangnya untuk vakansi, maka harus ada jaminan mereka bisa tetap sehat saat berangkat dan pulang berwisata.
"Ini yang jadi kunci konsumsi domestik bisa tetap tumbuh. Karena sejauh ini masalah konsumsi bukan hanya pada ability to spend (kemampuan belanja) tapi juga willingness to spend (keinginan untuk belanja)," tandasnya.
(hrf/bir)