Badan Legislatif (Baleg) DPR mengusulkan revisi UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Peraturan kelembagaan bank sentral ini tercatat sudah dua kali diamandemen.
Pertama, melalui UU 3 Tahun 2004, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Kedua, lewat UU 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2008. Landasan hukum kedua ini ditetapkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Cikal bakal UU 23/1999 ini lahir dari UU 11 Tahun 1953 tentang Penetapan UU Pokok BI yang menetapkan BI sebagai pengganti De Javasche Bank N.V. Regulasi itu lahir di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Revisi UU BI Dinilai Tak Mendesak |
Kemudian, pemerintah merevisi aturan tersebut menjadi UU 13/1968. Perbedaan prinsip dalam aturan yang lahir di era Presiden Soeharto, yakni BI dilarang untuk melakukan jenis usaha bank yang bersifat komersial.
Kini, payung hukum BI diusulkan kembali direvisi. Namun, sejumlah pengamat sontak 'berteriak' menilai beberapa poin usulan dalam beleid tersebut menjadi kemunduran terhadap pengaturan bank sentral ke era orde baru.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menjelaskan perbedaan prinsip UU BI sebelum 1999 silam dan setelahnya terletak pada hubungan pemerintah dan bank sentral. Setelah era 1999, kelembagaan BI bersifat lebih independen, dan terpisah dari pemerintah.
"Misalnya sebelum 1999 dan setelah 1999 strukturnya beda. Sebelum 1999, BI itu masuk ke pemerintah, di mana gubernur BI itu selevel menteri, di sana juga ada dewan moneter, konsepnya seperti itu. Tapi, setelah 1999, kita adopsi independensi bank sentral. BI di luar pemerintahan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (1/9).
Jika ditelaah lebih lanjut, sejumlah poin dalam revisi UU BI memiliki kecenderungan 'kembali' ke UU Nomor 13/1968 atau UU BI zaman orde baru. Dua poin yang dinilai Piter menjadi indikator, yakni terkait tujuan BI, serta wacana menghidupkan kembali dewan moneter.
Terkait tujuan kelembagaan BI, Baleg DPR mengusulkan BI berperan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja berkelanjutan, di samping tentunya mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar rupiah. Ketentuan ini tertuang pada RUU BI Pasal 7 ayat 1.
Revisi UU BI tersebut mengubah aturan sebelumnya yang menyatakan bahwa tujuan BI hanya mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
Kemudian, terkait dengan dewan moneter, seperti tertuang pada Pasal 7 ayat 3 yang berbunyi bahwa penetapan kebijakan moneter dilakukan oleh dewan moneter. Dewan ini pernah dibentuk melalui UU Nomor 11/1953 dan dipertahankan pada zaman orde baru.
![]() |
Namun, keberadaan dewan moneter ini dihapuskan dalam amandemen UU BI pada 1999, 2004, dan 2009. Jika dilihat lagi, narasi terkait dewan moneter dalam revisi UU BI, yang tertuang dalam pasal sisipan 9A, 9B, dan 9C meirip dengan pembentukan dewan moneter zaman orde baru.
Pada masa orde baru, dewan moneter diatur secara khusus dalam bab VI pasal 9, 10, 11, 12, 13, dan 14. Persamaan tersebut meliputi, fungsi dewan moneter, yaitu membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.
Selanjutnya, kedua aturan itu juga menyatakan bahwa dewan moneter memimpin, mengkoordinasikan dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Dari sisi keanggotaan, dewan moneter orde baru juga terdiri dari gubernur BI dan menteri keuangan, serta menteri-menteri yang membidangi perekonomian. Perbedaannya, kali ini dewan moneter melibatkan ketua dewan komisioner OJK.
Kedua aturan perundangan juga menetapkan menteri keuangan sebagai ketua dewan moneter. Bukan lagi, gubernur BI.
Pun demikian, secara teknis, dua aturan perundangan itu juga memiliki persamaan. Misalnya, dewan moneter bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan atau sesuai dengan keutuhan yang mendesak.
Kemudian, keputusan dewan moneter diambil dengan musyawarah untuk mufakat. Apabila, gubernur BI tidak menyetujui hasil musyawarah dewan moneter, maka gubernur BI dapat mengajukan pendapatnya kepada pemerintah.
Menengok persamaan revisi UU BI kali ini dengan UU BI zaman orde baru, tak heran jika Pieter menilai terdapat kemunduran karena pembaruannya justru mengacu pada aturan kuno.
"Iya (balik kepada zaman orde baru), konsepnya sama persis dengan yang dulu. Makanya, saya bilang mundur karena itu berdasarkan UU BI Tahun 1968. Jadi, itu benar-benar pemikirannya kuno banget, konsep kuno banget. Aneh juga itu kalau dimunculkan kembali, yang lain itu gerak maju ini kok gerak mundur," terang dia.
Independensi BI 'Disunat'
Hal lain yang menjadi kontroversi dalam revisi UU BI usulan Baleg DPR adalah independensi BI 'disunat'. Hal ini tercermin dari penghapusan pasal 9 UU Nomor 23/1999 yang dipertahankan pada amandemen 2004 dan 2009. Penghapusan tersebut tercantum pada RUU BI Pasal 7 ayat 3.
Sementara itu, Pasal 9 UU Nomor 23/1999 yang dihapus berbunyi pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. Kemudian, BI wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Goyangan pada independensi BI dipertegas dalam revisi UU BI Pasal 4 ayat 2. Ayat itu berbunyi BI adalah lembaga negara yang independen yang berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU ini.
Pasal 4 ayat 2 dalam revisi UU BI itu mengubah aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 3 Tahun 2004 yang berbunyi BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU ini.
Secara gamblang, revisi UU BI menghapuskan independensi BI dari campur tangan pemerintah. Sebaliknya, BI diharuskan berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Hubungan pemerintah dan BI dalam revisi UU ini mengingatkan kembali ikatan pemerintah dan BI pada masa orde baru.
"Makanya saya bilang mundur karena intinya di situ kebijakan moneter tidak independen lagi," tegas Pieter.
Padahal, ia mengibaratkan pentingnya independensi BI terhadap pemerintah dalam kebijakan moneter, seperti halnya rem dan gas dalam mobil. Pemerintah sebagai gasnya, sedangkan BI sebagai rem.
Pemerintah, lanjut dia, bersifat seperti gas di dalam mobil karena tujuan utamanya adalah pertumbuhan ekonomi. Sedangkan, BI sebagai rem tujuannya adalah stabilitas guna menjaga keseimbangan.
"Mobil, kalau hanya gas itu bisa kemana-mana, bisa nabrak jurang, jadi harus ada remnya. Ibaratnya seperti itu. Itulah kenapa kebijakan harus independen antara pemerintah dan bank sentral," jelasnya.
Ekonom Senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengamini pernyataan Pieter. Ia pun tak sepakat dengan revisi UU BI karena menghilangkan independensi BI.
"Dihilangkannya ketentuan di pasal 9 yang melarang campur tangan pihak lain terhadap BI sebenarnya menegaskan bahwa revisi UU ini akan menghilangkan independensi BI dalam menjalankan kebijakan moneter. Jika disahkan dengan pasal 9 yang dimodifikasi seperti ini, maka Indonesia mengalami kemunduran," imbuh dia.
Nah, jika independensi BI terganggu, maka pengaruhnya adalah kredibilitas BI dalam mengendalikan tingkat inflasi bisa terancam.
Kekhawatirannya, ia mengatakan bila pemerintah terlalu berhasrat menggenjot pertumbuhan ekonomi, lalu memiliki kewenangan menekan BI untuk melakukan ekspansi moneter yang eksesif, maka pengendalian inflasi bisa terganggu.
"Saat ini, inflasi memang bukan konsentrasi utama karena Indonesia sedang menuju resesi dan tekanan inflasi dari sisi demand memang melemah. Tapi, dalam kondisi nonresesi, ekspansi moneter berlebihan bisa menyebabkan tekanan inflasi yang besar," katanya.
Pembahasan revisi UU BI oleh anggota dewan ini masih berlangsung, belum menjadi putusan final. Sejumlah anggota fraksi pun mengusulkan agar Baleg berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menyarankan Baleg mendengarkan pandangan dari sejumlah ekonom.
(bir)