Ekonom senior Faisal Basri menyoroti minimnya dampak investasi terhadap pertumbuhan ekonomi selama masa kepemimpinan Joko Widodo. Bahkan, kata dia, jika dibandingkan era orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, investasi di Indonesia saat ini lebih tidak efisien.
Sorotan ia berikan dengan mendasarkan pada pendekatan rasio penambahan modal terhadap pertumbuhan ekonomi (Incremental Capital Output Ratio/ICOR).
Rasio ini mencerminkan seberapa besar tambahan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Makin rendah ICOR, itu berarti efisiensi investasi makin tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, jika ICOR tinggi, investasi yang dilakukan semakin minim dampaknya atau tak efisien.
"Investasi besar rasanya sedikit. Sudah berulang kali saya katakan ICOR naik terus, 50 persen lebih tinggi dari pada orde baru dan periode SBY," ucapnya dalam diskusi virtual yang digelar Indef, Kamis (3/9).
Faisal melanjutkan ICOR Indonesia terus menanjak sejak 2010. Mengutip perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ICOR Indonesia saat ini berada di kisaran 6,2 hingga 6,5.
Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pernah mengkaji rata-rata ICOR Indonesia periode 2014-2018 sebesar 5,88. Kedua perhitungan tersebut di atas ICOR Indonesia di era Orde Baru yang hanya berkisar 4 hingga 4,5.
Hal ini pula lah, menurut Faisal Basri, yang membuat pemerintah terus-menerus merogoh kantong APBN untuk membiayai pembangunan yang dilakukan BUMN.
Hal tersebut terlihat dari permintaan BUMN untuk suntikan modal negara (PMN) yang terus meningkat. Tahun ini, misalnya, PMN meningkat signifikan dari yang 2019 lalu hanya Rp3,6 triliun menjadi Rp31,2 triliun.
Sementara di tahun depan, jumlahnya meningkat lagi menjadi Rp37,4 triliun dalam nota keuangan rancangan APBN 2021.
"Tetap politisi berpesta pora kemudian malah menambah beban yang bertubi-tubi bermasalah. Makannya PMN nya meningkat luar biasa," tandasnya.