Ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini mengatakan Indonesia sudah masuk dalam perangkap utang. Pasalnya, pemerintah menambah utang untuk membayar utang maupun bunga utang.
"Sekarang kita ini sudah masuk dalam perangkap utang, harus utang untuk bayar utang, ini sudah relatif berat," ujarnya dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (2/9).
Berdasarkan data yang dikantonginya, penerbitan utang pemerintah selalu bertambah tiap tahunnya selama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2016, penerbitan utang sebesar Rp660,8 triliun, kemudian bertambah menjadi Rp726,3 triliun pada 2017. Setahun kemudian, utang penerbitan utang pemerintah menjadi Rp782,3 triliun dan Rp921,5 triliun pada 2019 lalu.
Tahun ini, karena pandemi covid-19, pemerintah berencana menambah utang hingga Rp1.530,8 triliun. Utang tersebut memiliki konsekuensi pembayaran pokok utang jatuh tempo maupun bunga utang setiap tahunnya.
"Indonesia membayar utang pokok Rp475 triliun, kemudian bayar bunga Rp275 triliun, jadi Rp750 triliun. Jadi, setiap tahun pemerintah Jokowi bayar utang Rp750 triliun. Ini beberapa tahun kemudian setiap tahun akan bayar utang Rp1.000 triliun lebih," ujarnya.
Ia menilai langkah pemerintah menarik utang tersebut terlalu ugal-ugalan. Menurutnya, masih terdapat sumber-sumber pendanaan yang bisa digali dari APBN yang serapnya kurang maksimal alih-alih menambah utang.
"Saya kritisi, ugalan-ugalan ini utangnya, utang menggunung dan covid-nya terus meningkat," imbuhnya.
Ia melanjutkan jika utang pemerintah pusat tersebut ditambah dengan utang pemerintah daerah dan utang BUMN, maka totalnya menjadi Rp7.428 triliun. Kumpulan utang ini disebut sebagai utang publik.
Selain itu, jika menghitung utang perbankan BUMN, maka totalnya menjadi Rp10.732 triliun.
"Selain utang ini, ada beban pemerintah yaitu BUMN bank pemerintah, itu dinilai sebagai utang, kenapa? Kalau itu bank gagal bayar, maka yang akan bayar negara dan dalam kategori sistem moneter itu dianggap sebagai utang," katanya.