PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memperkirakan mereka baru dapat mengangkut penumpang dengan okupansi normal pada 2023 mendatang.
Direktur Layanan, Pengembangan Usaha dan Teknologi Informasi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Ade R. Susardi menyebut bahwa pemulihan jumlah okupansi akan terjadi cukup lama dan bertahap.
Hingga akhir tahun ini ia memproyeksikan perusahaan hanya mampu meraup pendapatan sebanyak 40 persen dari pendapatan tahun lalu yaitu Rp73 triliun. Diikuti pada 2021 di kisaran 60 persen - 70 persen dibandingkan 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan, pendapatan perusahaan sepanjang tahun hingga Juni 2020 merosot 88,6 persen dibandingkan periode sama 2019. Ada pun jumlah penumpang pada periode sama terjun bebas sebesar 95,3 persen.
"Melihat situasi saat ini, untuk kembali ke 2019 akan butuh waktu cukup panjang. Airline (maskapai) diperkirakan akan kembali ke angka itu di 2023, cukup lama," katanya dalam diskusi daring Industri Transportasi Publik pada Kamis (3/9).
Lebih lanjut, meski dalam survei yang dilakukan Garuda beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa antusias pelancong cukup baik, yaitu 73 persen orang ingin terbang hingga 6 bulan ke depan, namun faktanya penumpang masih minim.
Ia menduga hal ini disebabkan oleh persiapan dokumentasi yang ruwet. Itu membuat masyarakat memilih untuk melakukan perjalanan dengan transportasi darat.
"Tapi yang benar-benar beli tiket cuma 12 persen, hal ini kami lihat sebagai kendala, ingin tapi ga yakin karena ada yang ragu, takut dokumen kurang, tidak jelas persiapan rapid/PCR test atau dokumen apa yang perlu dibawa dan kalau di tempat tujuan harus tes lagi. It's a bit complicated (agak rumit)," jelasnya.
Namun, Ade yakin hingga akhir tahun ini Garuda akan mampu menerbangkan rata-rata 7.000-8.000 penumpang per hari. Ia optimis sebab pada libur panjang perayaan HUT RI pada Agustus lalu, perseroan mencatatkan jumlah penumpang sebanyak 9.000 orang per hari.
Selain itu, dia menyatakan bahwa maskapai nasional juga telah menandatangani perjanjian bilateral dengan China dan Korea Selatan untuk penerbangan bisnis. Tujuannya, agar ketika penerbangan internasional ke kedua negara telah dibuka, Garuda dapat langsung melakukan perjalanan ke dua negara tujuan tersebut.
Tak hanya transportasi udara, hal serupa pun menimpa moda angkutan darat. Direktur Niaga PT KAI (Persero) Maqin U Norhadi menyebut hingga kini okupansi KAI masih rendah, di kisaran 60 ribu penumapang per hari baik untuk layanan jarak jauh (intercity) atau pun commuter line.
Normalnya, untuk layanan jarak jauh, KAI mampu menjual 210 ribu tiket per hari dan mengangkut 1 juta penumpang untuk layanan commuter line Jabodetabek.
Bahkan, pada rekor terburuk pada Mei lalu, KAI sempat hanya menjual 62 tiket sehari untuk layanan kereta api luar biasa (KLB).
"Hari ini rata-rata layanan intercity dan jarak jauh di pulau Jawa dan Sumatera sudah 60 ribu penumpang per hari, ini dengan okupansi 70 persen," pungkasnya.
(wel/agt)