Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan pemerintah soal ancaman depresi besar (The Great Depression) sebagaimana terjadi pada 1929. Pasalnya, ia menilai sejumlah kondisi saat ini memiliki persamaan dengan krisis ekonomi tersebut.
Salah satunya adalah kinerja sektor keuangan baik, namun sebaliknya fundamental ekonomi lesu. Jika dilihat nilai tukar rupiah berhasil menguat meskipun Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,32 persen pada kuartal II lalu.
Tak hanya rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga imbal hasil (yield) surat utang negara juga membaik di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya harus sampaikan di sini, yang banyak sekarang terkecoh adalah kenapa di saat situasi sekarang IHSG kita di atas 5.000 dan rupiah tidak melemah balik ke level Rp16 ribu per dolar AS? Ternyata menurut saya ini bahaya, karena situasi ini hampir mirip dengan tahun 1929," ujarnya dalam sebuah diskusi, Senin (7/9) malam.
Mengingatkan kembali, pada Great Depression 1929 dimulai dari spekulasi besar-besaran di pasar saham AS karena pertumbuhan ekonomi tumbuh pesat. Indeks saham melejit hingga mencapai puncaknya pada Agustus 1929.
Namun, pada September 1929 harga saham secara perlahan terus turun. Puncaknya terjadi pada 24 Oktober 1929 ketika terjadi pelepasan saham-saham secara masif ketika sebanyak hampir 13 juta lembar saham berpindah tangan dalam waktu sehari.
Bahkan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh hingga 11 persen dalam sehari atau yang dikenal sebagai Black Thursday.
Bhima menuturkan saat itu investor banyak berburu saham sehingga melonjak lebih dari 40 persen. Namun, yang terjadi setelahnya adalah depresi ekonomi berkelanjutan dan pasar saham AS hancur.
"Jadi kalau kita belajar depresi besar yang pernah terjadi di dunia indikator sektor keuangan ini banyak melesetnya dan banyak dijadikan sebagai false indikator atau indikator yang salah. Yang terjadi sekarang bukan fundamental ekonomi kita menguat atau new normal berhasil kemudian konsumsi rumah tangga meningkat, yang terjadi sekarang adalah fenomena decoupling, yaitu sentimen di sektor keuangan yang digoreng oleh spekulan ini tidak nyambung dengan sektor riil kita," ucapnya.
Selain itu, ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang memberikan banyak stimulus di sektor keuangan dibandingkan sektor riil. Mulai dari penyaluran bantuan UMKM, subsidi bunga UMKM, relaksasi kredit, penempatan dana pemerintah di bank BUMN, dan sebagainya.
"Jadi, yang ingin diamankan pada awal pandemi ini sektor keuangan, sampai sekarang dalam beberapa program stimulus harus lewat sektor keuangan. Ini yang haru dikasih tahu ke presiden cara yang seperti ini adalah cara yang bahayakan ekonomi," katanya.