Fitch Ratings, lembaga pemeringkat internasional, menilai Indonesia masih belum berhasil memanfaatkan peluang realokasi industri dari China. Bahkan, Indonesia kalah dari Vietnam yang mampu melahap peluang tersebut.
"Indonesia benar-benar belum mendapat keuntungan dari perubahan itu. Vietnam yang telah menjadi penerima yang besar," terang Head of Asia-Pacific Sovereigns Fitch Ratings Stephen Schwartz di program Squawk Box CNBC Indonesia TV, Kamis (8/10).
Schwartz mengatakan Indonesia belum bisa memanfaatkan peluang realokasi pabrik dari China karena industri di dalam negeri cenderung tertinggal dari negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketertinggalan itu terjadi dari sisi kapasitas hingga kualitas produk. Seperti diketahui, mayoritas produk dagang Indonesia yang dijual ke negara luar merupakan komoditas mentah. Mulai dari minyak, batu bara, dan lainnya.
"Ini sangat tertinggal dari beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Malaysia, bahkan Filipina dalam hal produksi manufaktur," katanya.
Padahal, pemain industri manufaktur yang membangun pabrik di China satu per satu mulai meninggalkan Negeri Tirai Bambu. Penyebabnya karena kenaikan biaya produksi.
"Mereka mencari basis produksi yang lebih kompetitif. Mereka ingin mendiversifikasi rantai pasokan," imbuhnya.
Sayangnya, industri nasional belum cukup mampu menangkap peluang ini. Selain itu, Schwartz juga menilai permasalahan layanan birokrasi juga menjadi faktor lanjutan yang membuat peluang aliran investasi tak bisa ditampung oleh Indonesia.
"Jadi jika reformasi semacam ini dilaksanakan dan berhasil dari waktu ke waktu, ini dapat menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih baik untuk mengambil sebagian dari arus masuk tersebut," pungkasnya.