Pencairan bansos tunai (BLT) subsidi gaji pekerja tahap kedua sebesar Rp1,2 juta mulai dilakukan pada awal pekan ini. Kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari pencairan tahap pertama bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta yang telah diterima sepanjang Oktober lalu.
Total target 15,7 juta pekerja akan mendapat Rp2,4 juta untuk meringankan beban pengeluaran mereka di tengah pandemi corona atau covid-19.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bilang pemerintah sengaja memberi bantuan kepada para pekerja kelas menengah ke bawah ini karena mereka juga tertekan di tengah pandemi, meski masih dianggap cukup mampu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini untuk membantu daya beli dan konsumsi masyarakat," ungkap Ida, beberapa waktu lalu.
Kendati begitu, Ida menyatakan pencairan BLT subsidi gaji gelombang kedua mungkin akan lebih sedikit dari sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang minta agar data pekerja di program BLT subsidi gaji disinkronkan dengan data perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Sebab, menurut evaluasi, ada penerima BLT subsidi gaji yang berpenghasilan di atas Rp5 juta. Artinya, bansos yang diberikan tidak tepat sasaran.
"Jadi kemarin KPK merekomendasikan agar datanya dipadankan dengan wajib pajak, ternyata ditemukan ada yang gajinya di atas Rp5 juta," ucapnya.
Namun, Ida mengklaim mayoritas penerima tetap mereka yang bergaji di bawah Rp5 juta. Hanya saja dengan hasil pemantauan ini, kemungkinan penerima yang tidak sesuai tidak akan diberi subsidi gaji lagi, sehingga pencairan akan lebih sedikit.
Kondisi ini rupanya tak membuat Ekonom INDEF Tauhid Ahmad kaget. Menurut dia, kesadaran untuk sinkronisasi data pekerja, gaji, dan perpajakan pasti telah disadari oleh pemerintah.
"Tapi karena kemarin buru-buru, yang penting segera beri program bantuan ke masyarakat, akhirnya tidak menjadi kriteria, verifikasi cleaning dan clearing yang butuh proses panjang dan sudah disadari jadi diabaikan," ujar Tauhid kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/11).
Pada kondisi ini, menurutnya, pemerintah tentu bisa berkilah bahwa pemberian bansos memang mau tidak mau harus cepat dilakukan, meski ada kekurangan. Bahkan, bisa pula ditutupi dengan 'tameng' kekurangan diminimalisir sembari berjalan.
Kasarnya, yang penting beri dana dulu ke masyarakat agar beban berkurang dan pemerintah tetap menjalankan tugasnya. Masalahnya, menurut Tauhid, tepat sasaran tetap menjadi hal yang patut diutamakan pada masa-masa krisis seperti ini.
"Karena kalau tidak, dampak ekonominya kecil, itu tidak lari ke konsumsi, tidak lari ke nongkrong, makanan, minuman, pulsa, tapi jadi disimpan untuk jaga-jaga, mengendap di bank," tuturnya.
Karenanya, ia mengaku tak heran bila Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan justru meningkat pada masa pandemi. Tercatat, DPK tumbuh 12 persen secara tahunan hingga akhir September 2020.
Pasalnya, orang-orang yang disasar, yaitu pekerja kelas menengah, sudah sadar akan kebutuhan berjaga-jaga, sehingga ketika punya pemasukan lebih justru akan dilarikan ke tabungan.
"DPK naik tajam, dana hanya berputar di situ, dari rekening pemerintah, ke rekening pekerja di bank. Dana di bank kalau tinggi dan disalurkan ke kredit bagus, tapi ini kan tidak, jadi di situ-situ saja," katanya.
Bukti lain, katanya, tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih minus 4,04 pada kuartal III 2020. Memang, kontraksinya berkurang dari sebelumnya minus 5,52 persen pada kuartal II 2020.
Artinya, ada peningkatan konsumsi masyarakat, tapi tidak signifikan. Efek domino ke ekonomi pun tidak maksimal, ekonomi masih minus 3,49 persen pada kuartal III dan tidak bisa menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi.
"Bansos atau subsidi yang tidak tepat, ya tidak dorong konsumsi dan juga ekonomi," imbuhnya.
Dari kondisi ini, Tauhid mengingatkan pemerintah agar segera berbenah, meski dana yang sudah terlanjur diberikan rasanya tidak mungkin ditarik lagi. Sebab, dikhawatirkan justru memberi beban kepada keuangan masyarakat.
Tapi, ini menjadi alarm untuk mereformasi seluruh basis data sebelum memberikan bansos dan subsidi. Jangan sampai tidak tepat sasaran lagi, karena masih banyak yang jauh lebih membutuhkan dan memberi dampak ke perekonomian.
Khusus data di sektor ketenagakerjaan, ia menilai perlu dilakukan pendataan yang tidak hanya merupakan limpahan dari perusahaan, namun pekerja secara riil.
"Jadi pekerja bisa update data mereka, ketahuan dinamika di lapangannya seperti apa, termasuk berapa tingkat upahnya, apa skill-nya, dan sebagainya," jelasnya.
Selain itu, pemerintah sudah seharusnya sadar bahwa pemberian bansos tidak sekadar berpegang pada prinsip menebar ke semua penjuru, tapi tepat sasaran. Maka, utamakanlah mereka yang kelas bawah dan pekerja berupah rendah.
"Termasuk mereka yang terdampak, misalnya industri padat karya, itu yang didahulukan, beri insentif untuk recovery (pemulihan), peningkatan kapasitas SDM, dan lainnya," tekannya.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet juga menilai penting agar ketepatsasaran diutamakan, sehingga dampak ekonomi lebih terasa. Reformasi di bidang data dinilai perlu segera dilakukan.
"Persentase perlindungan sosial pemerintah memang banyak tapi perlu dilihat manfaatnya. Khususnya dalam dampak ke ekonomi," jelas Yusuf.
Dari sini, menurutnya, pemerintah perlu membuat evaluasi yang lebih rinci. Misalnya, berapa banyak dana yang diberikan yang kemudian lari ke konsumsi.
Lalu, berapa yang dipakai untuk kebutuhan hiburan dan wisata. Berapa pula yang lari ke tabungan. Ini semua bisa disurvei langsung ke penerima, sehingga ketika kurang tepat bisa disesuaikan.
Di sisi lain, ia melihat pemerintah perlu inovasi dalam pemberian bantuan kepada pekerja kelas menengah, misalnya memberikan kemudahan layanan di bidang administrasi, sehingga pengeluaran lebih efisien dan bisa dialokasikan untuk hal lain yang berkontribusi ke pertumbuhan.
(bir)