Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan terjemahan naskah (teks) perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) bisa rampung dalam dua bulan ke depan. Target ini juga termasuk penyelesaian tahap ratifikasi sebelum perjanjian bisa diimplementasikan.
Ratifikasi merupakan proses adopsi perjanjian internasional melalui persetujuan dari berbagai kementerian/lembaga yang bersinggungan dengan kebijakan di dalam perjanjian tersebut.
Ratifikasi juga berarti pemerintah perlu menyinkronkan aturan di dalam negeri agar sejalan dengan ketentuan di dalam perjanjian perdagangan RCEP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan perjanjian perdagangan RCEP yang baru saja diteken oleh para menteri perdagangan dan menteri yang mewakili pada hari ini, Minggu (15/11). Penandatanganan juga disaksikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Mudah-mudahan dalam waktu dua bulan ke depan kita bisa sampaikan hasilnya ke DPR untuk ratifikasi sebagai mitigasi tantangan yang muncul dari implementasi perjanjian ini," ucap Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo saat konferensi pers virtual.
Iman menjelaskan, proses terjemahan dan ratifikasi ini merupakan syarat dasar sebelum perjanjian dagang bisa diimplementasikan oleh sebuah negara. Maka dari itu, negara lain pun turut melakukan tahapan ini sebelum benar-benar menjalankan ketentuan dagang yang tertuang dalam RCEP.
"Kami pun baru bisa memprosesnya bila sudah melalui DPR, nanti dilihat apakah ini akan menjadi undang-undang atau peraturan presiden, saya kira kami akan coba ajak bicara semua pihak secara holistik. Kami siap diskusikan dengan DPR," tutur dia lagi.
Selain ratifikasi, kata Iman, pemerintah juga akan melakukan sosialisasi implementasi ketentuan perjanjian dagang RCEP ke pelaku usaha di dalam negeri. Khususnya para UMKM karena keberlangsungan bisnis mereka beberapa ada yang diatur dalam perjanjian ini.
Di sisi lain, menurut Iman implementasi RCEP akan menjadikan perjanjian dagang ini sebagai yang terbesar di dunia. Bahkan jauh melebihi perjanjian dagang Trans Pasific Partnership (TPP) dan EU-28, forum dagang antar negara Uni Eropa.
Iman mencatat saat ini potensi ekonomi RCEP tanpa India yang menarik diri pada tahun lalu, mencapai 29 persen dari total ekonomi dunia. Nilai ini setara dengan perdagangan mencapai US$10,64 triliun atau 27,1 persen dari perdagangan dunia.
Selain itu, berasal dari aliran investasi negara-negara RCEP tanpa India, mencapai US$379,9 miliar atau 29,3 persen dari investasi di dunia.
RCEP juga menjadi pasar dengan populasi terbanyak mencapai 2,24 miliar atau 29,6 persen dari total populasi dunia.
Sementara ekonomi dari keberlangsungan TPP tanpa Amerika Serikat yang juga menarik diri dari perjanjian ini, sebesar 13 persen dari total ekonomi dunia. Perhitungan ini berasal dari nilai perdagangan sebesar US$5,88 triliun atau 15 persen dari total perdagangan dunia.
Sedangkan dari sisi investasi, TPP tanpa AS hanya menghimpun US$258 miliar atau 19,9 persen dari total aliran investasi di pasar internasional. Dari jumlah populasi, pasar TPP tanpa AS hanya melibatkan 6,6 persen populasi dunia.
Begitu pula dengan EU-28 tanpa Inggris yang menarik diri melalui kebijakan Brexit. Ekonomi dari EU-28 hanya 18,7 persen dari total ekonomi dunia.
Terdiri dari nilai dagang US$11,71 triliun atau 29,8 persen dari total perdagangan dunia dan investasi US$213,2 miliar atau 16,4 persen dari total. Untuk populasi, pasar ini hanya melibatkan 5,9 persen penduduk dunia.
(uli/nma)