Bank Indonesia (BI) tengah mengkaji pembentukan aturan soal kebijakan makroprudensial yang bertujuan mendorong pembiayaan kepada sektor UMKM. Tujuannya, mendekatkan UMKM kepada akses pembiayaan guna memaksimalkan bisnis sektor tersebut.
Asisten Gubernur BI Juda Agung mengatakan kebijakan itu disebut sebagai rasio pembiayaan makroprudensial. Aturan itu memungkinkan perbankan yang tidak memiliki keahlian (expertise) di bidang UMKM, menggandeng pihak lain dalam menyalurkan pembiayaan.
"Intinya adalah bank itu memang selama ini ada yang tidak punya expertise di UMKM, sehingga penyaluran kepada UMKM sangat terbatas. Namun, dia bisa menggandeng mitra lain, menggandeng koperasi, pegadaian, BPR, bahkan menggandeng fintech untuk memberikan pembiayaan kepada UMKM," ujarnya dalam BI Bersama Masyarakat: Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan BI 2021, Senin (7/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, aturan tersebut juga memberikan lampu hijau kepada perbankan untuk membeli surat berharga dari bank lain yang memiliki kelebihan pembiayaan ke sektor UMKM. Jadi, kata dia, terdapat komplementer antara bank yang tidak bisa memenuhi penyaluran kredit kepada UMKM.
"Ini yang akan kami dorong dan mudah-mudahan awal tahun depan kami bisa keluarkan kebijakan ini," ucapnya.
Menurutnya, tantangan UMKM saat ini adalah penurunan permintaan. Karenanya,UMKM juga perlu didorong untuk memperluas pasar, salah satunya lewat digitalisasi.
"Sehingga antara bank willingness (kemauan) memberikan kredit dan kemampuan UMKM serap pembiayaan itu juga matching," katanya.
Seperti diketahui, sektor UMKM merupakan salah satu sektor terdampak covid-19. Padahal, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi sektor UMKM kepada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60 persen.
Oleh sebab itu, pemerintah menyiapkan anggaran untuk sektor UMKM dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp115,82 triliun. Per 25 November 2020 lalu, sudah disalurkan dana senilai Rp98,76 triliun, atau setara 85,27 persen dari pagu anggaran.