Bank Indonesia (BI) melakukan pelonggaran moneter lewat instrumen kuantitas atau quantitative easing (QE) dengan suntikan dana sebesar Rp682 triliun sejak awal tahun hingga 20 November 2020.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan jumlah tersebut setara dengan 4,4 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB).
"Ini merupakan stimulus moneter terbesar di antara negara emerging market lainnya," tuturnya Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2020, Kamis (3/12)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data dari Buku Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, quantitative easing tersebut dilakukan bank sentral mayoritas melalui ekspansi moneter sebesar Rp511,2 triliun. Sisanya, lewat penurunan giro wajib minimum (GWM) senilai Rp155 triliun.
Untuk ekspansi moneter, rinciannya melalui penyediaan term repo kepada perbankan dengan underlying SBN dan FX swap berjumlah Rp345,0 triliun. Lalu, lewat pembelian SBN dari pasar sekunder sebesar Rp166,2 triliun sebagai bagian dari kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah yang.
Berdasarkan informasi dalam buku tersebut, operasi moneter tersebut utamanya dilakukan pada periode Maret dan April 2020 saat terjadi penarikan investasi portofolio asing, khususnya dari SBN pemerintah sehingga memberi tekanan rupiah.
Selain itu, BI menurunkan kewajiban GWM rupiah sebanyak 3 kali sebesar 300 basis poin (bps). Berkurangnya GWM tersebut menambah likuiditas sekitar Rp155 triliun selama 2020.
Selain GWM, BI juga tidak mengenakan tambahan giro dalam pemenuhan ketentuan rasio intermediasi makroprudensial bank, sehingga menambah likuiditas sekitar Rp15,8 triliun.