Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku lebih memilih vaksin Sinovac ketimbang Pfizer yang telah mendapatkan izin pakai darurat di Amerika Serikat dan Inggris. Pasalnya, vaksin Sinovac berasal dari virus corona yang dilemahkan, berbeda dengan Pfizer yang berasal dari modifikasi gen.
Namun, jika vaksin yang tersedia hanya vaksin hasil modifikasi gen, ia mengaku akan tetap memakainya. Menurutnya, yang penting pandemi cepat berakhir.
"Tentu saya memilih Sinovac, dibanding Pfizer. Dengan logika saya sendiri. Tentu saya bukan ahli menilai. Apalagi menilai obat, termasuk vaksin," ujarnya dalam blog pribadinya Disway.id Senin (14/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dahlan mengatakan dirinya tidak ingin kejadian pandemi flu Spanyol pada 1918 yang lalu terulang. Pasalnya, kalau hal itu terulang tanpa adanya upaya vaksinasi, menurutnya akan ada 100 juta orang di Indonesia yang kehilangan nyawanya.
"Yang penting pandemi ini harus berakhir lebih cepat. Juga lebih sedikit korbannya. Jangan mengulang pandemi 1918 yang korbannya sepertiga penduduk, flu Spanyol itu," papar Dahlan.
Menurut Dahlan, kematian besar akibat wabah seperti flu Spanyol tak akan membuat manusia kalah apalagi punah. Sebab ilmu pengetahuan akan selalu bisa mengatasi persoalan.
Awal tahun 1900-an, misalnya, ketika para ahli di Inggris meramalkan punahnya manusia akibat kekurangan pangan lantaran pertumbuhan penduduk tak sebanding dengan produksi pangan, hal tersebut tak terjadi.
Seorang ilmuwan Jerman menemukan cara pembelahan unsur kimia nitrogen dan berujung pada ditemukannya inovasi berupa pupuk untuk menyuburkan tanaman. Masalah pun bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan.
"Kenyataannya, produksi pangan bisa melebihi kebutuhan, tinggal punya uang atau tidak untuk membelinya," lanjutnya.
Dahlan juga menyinggung soal penolakan atas vaksin yang terjadi di Indonesia. Menurutnya hal tersebut tak serta-merta membuat Indonesia menjadi negara terbelakang. Pasalnya hal tersebut tak hanya terjadi di Indonesia.
"Di Amerika atau Inggris, atau negara maju lainnya juga banyak yang menolak vaksin," lanjut Dahlan.
Menurutnya, penolakan terhadap vaksin bukan baru kali ini saja terjadi, melainkan sudah lebih dari 100 tahun lalu. Di Rio de Janeiro, Brasil, bahkan penolakan atas vaksin cacar hampir menyebabkan kerusuhan besar.
"Hampir saja pemerintahan Brasil terguling akibat kerusuhan itu. Salah satu isu besarnya adalah vaksinasi cacar itu membuat kecantikan kulit rusak," terang Dahlan.
Tentu vaksinasi covid-19 tak merusak kecantikan seperti vaksin cacar yang sempat memicu kerusuhan di Brasil itu.
"Tapi vaksin yang berasal dari virus yang dilemahkan tetap lebih menarik bagi saya. Sejarah pemakaiannya sudah begitu panjang. Untuk begitu banyak wabah di masa lalu," ungkap Dahlan.