Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pendapatan per kapita masyarakat turun Rp286 ribu atau 2,53 persen, yaitu dari Rp11,3 juta pada tahun lalu menjadi Rp11,01 juta pada 2020. Penurunan pendapatan per kapita ini dikarenakan pandemi corona.
Akibatnya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia hanya naik tipis 0,02 persen dari 71,92 pada 2019 menjadi 71,94 pada 2020. IPM tak naik signifikan karena pendapatan masyarakat tertekan.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan IPM yang cuma naik tipis ini sejatinya bukan hal yang wajar. Sebab, biasanya kenaikan IPM berada di rentang 0,5 sampai 0,6 poin per tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi di 2020 hal itu tidak terjadi, bahkan nyaris flat (datar), salah satunya karena covid-19 yang mulai ada di Indonesia sejak awal Maret 2020. Covid ini menyebabkan banyak pendapatan masyarakat menurun," tutur Suhariyanto saat konferensi pers virtual pada Selasa (15/12).
Menurutnya, kontribusi dari penurunan pendapatan per kapita ini menekan tren positif pada indikator IPM lain.
Misalnya, umur harapan hidup saat lahir (UHH) yang meningkat 0,13 tahun atau 0,18 persen mencapai 71,47 tahun.
Begitu juga dengan harapan lama sekolah (HLS) yang naik 0,03 tahun atau 0,23 persen menjadi 12,98 tahun dan rata-rata lama sekolah (RLS) tumbuh 0,14 tahun atau 1,68 persen mencapai 8,48 tahun.
Berdasarkan provinsi, BPS mencatat hanya DKI Jakarta yang memiliki tingkat IPM di kategori sangat tinggi, di mana indeksnya mencapai 80,77. Tingkat IPM di ibu kota bahkan lebih tinggi dari nasional 71,94 yang masuk kategori tinggi.
"IPM tertinggi ada di DKI Jakarta 80,77. Disusul Yogyakarta 79,97 dan Kalimantan Timur 76,24," terangnya.
Sementara, 22 provinsi lain memiliki IPM kategori tinggi dengan indeks sama dengan atau lebih dari 70 dan di bawah 80. Lalu, 11 provinsi ada di kategori IPM sedang dengan indeks sama dengan atau di atas 60 sampai di bawah 70.
"IPM terendah ada di Papua 60,44. Tetapi statusnya kategori sedang. Yang menggembirakan adalah tidak ada lagi provinsi (dengan IPM) yang rendah," katanya.
Kendati begitu, Suhariyanto menekankan pemerintah masih punya pekerjaan rumah. Sebab, IPM di berbagai provinsi dan kabupaten/kota masih belum merata.
"PR yang perlu dipecahkan bersama ke depan adalah masih ada disparitas IPM yang tinggi di provinsi dan kabupaten/kota. Misalnya, di DKI Jakarta 80-an, tapi di Papua 60-an," tuturnya.
Begitu juga disparitas IPM di kabupaten/kota. Suhariyanto memberi contoh, misalnya IPM di Kota Jayapura 79,94 dan Kabupaten Nduga 31,55.
"Artinya ada disparitas yang lebar sekali di kabupaten/kota Papua, meski dengan catatan disparitas itu menurun terus dari tahun ke tahun. Tapi ini masih ada gap," pungkasnya.