Peredaran rokok ilegal masih marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan survei rokok ilegal secara nasional oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) peredaran rokok ilegal tercatat sebesar 4,9 persen di 2020.
Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati menuturkan persentase peredaran rokok ilegal tersebut menimbulkan kerugian mendekati sekitar Rp5 triliun bagi negara.
"Kami melakukan simulasi, jika peredaran rokok ilegal 2 persen saja kerugian negara mencapai Rp1,75 triliun, dan kalau 5 persen Rp4,38 triliun minimal," ujarnya dalam diskusi Kenaikan Cukai Hasil Tembakau: Solusi atau Simalakama, Rabu (23/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai catatan, lanjut Enny, persentase peredaran rokok ilegal sebesar 4,9 persen adalah yang terkena penindakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan. Jumlah tersebut belum memperhitungkan rokok ilegal yang tidak tertangkap radar DJBC.
"Itu juga kerugian cukainya saja, belum yang lain. Dalam kebijakan cukai jika dia legal, tidak hanya membayar cukai, tapi PPN, pajak daerah, jadi berdampak pada penerimaan PPN, dan sebagainya," jelasnya.
Menurutnya, kenaikan rokok ilegal dipicu oleh kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok oleh pemerintah yang berlangsung hampir setiap tahun. Pasalnya, kenaikan cukai rokok membuat harganya semakin tidak terjangkau oleh perokok (affordable), tapi di sisi lain pasarnya masih besar.
"Perbandingan berbagai studi, hubungan kenaikan CHT dengan rokok ilegal tidak hanya dialami Indonesia, di Malaysia peredaran rokok ilegal juga naik dengan kenaikan cukai itu," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Nirwala Dwi Heryanto memaparkan persentase peredaran rokok ilegal bertambah dari tahun lalu sebesar 3 persen, berdasarkan hasil survei internal rokok ilegal (SIRI) DJBC.
Namun, jika dibandingkan dengan 2018 lalu, maka peredarannya berhasil ditekan dari sebelumnya 7 persen. Angka tersebut berdasarkan hasil survei UGM. Ia menuturkan DJBC terus menindak peredaran rokok ilegal tersebut guna menekan penyebarannya.
"Kalau boleh dikatakan setiap hari paling tidak kami melakukan 25 penindakan di Indonesia, ini bukan angka kecil apalagi di pandemi ini sudah ada keterbatasan gerak tapi kami tetap lakukan penindakan," ucapnya.
Ia menuturkan disparitas harga rokok ilegal dengan rokok legal mencapai 62 persen. Oleh sebab itu, ia menuturkan DJBC akan terus berupaya menekan peredaran rokok ilegal.
"Seperti yang dikatakan tadi, yang namanya perokok kalau sudah ingin rokok atau nikotin withdrawal itu sudah tidak melihat lagi rokok legal atau ilegal, yang penting rokok, apalagi kalau harganya murah," ucapnya.