Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.200 per dolar AS pada perdagangan pasar spot Rabu (23/12) sore. Posisi tersebut naik tipis 0,04 persen dibandingkan perdagangan Selasa (22/12) sore di level Rp14.205 dolar AS.
Sementara, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.282 per dolar AS atau melemah dibandingkan posisi kemarin yakni Rp14.218 per dolar AS.
Sore ini, mayoritas mata uang di kawasan Asia terpantau menguat terhadap dolar AS. Kondisi ini ditunjukkan oleh yen Jepang naik 0,18 persen, dolar Singapura menguat 0,16 persen, dolar Taiwan naik 0,10 persen, dan peso Filipina naik 0,08 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, rupee India menguat 0,12 persen, yuan China bertambah 0,09 persen, dan baht Thailand naik 0,13 persen. Sedangkan, ringgit Malaysia turun 0,09 persen dan won Korea Selatan minus 0,04 persen.
Sementara itu, mata uang di negara maju kompak menguat terhadap dolar AS. Tercatat, poundsterling Inggris naik 0,46 persen, dolar Australia naik 0,53 persen, dolar Kanada menguat 0,19 persen, dan franc Swiss bertambah 0,05 persen.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan penguatan rupiah sore ini ditopang oleh sentimen perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Maju pada Selasa (22/12) kemarin. Pengangkatan menteri baru, kata dia, menjanjikan stabilitas politik dan kinerja kabinet yang lebih baik.
"Yang membuat rupiah ditutup menguat tipis adalah pengangkatan menteri yang sesuai dengan keinginan pasar," ujarnya dalam riset.
Empat orang dari mereka adalah sosok yang dekat dengan dunia usaha, yakni pebisnis dan bankir. Sedangkan, perwakilan partai yang dipilih sebagai menteri baru dikenal memiliki kinerja positif mendukung dunia usaha.
Namun, penguatan tersebut tertahan oleh kondisi pandemi dalam negeri yang memburuk. Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan terjadi kenaikan mingguan kasus baru covid-19 sebesar 12,1 persen dan kasus kematian naik 3 persen.
Menurutnya, tren pandemi memburuk karena fasilitas kesehatan kian minim sehingga penanganan pasien covid-19 tidak optimal.
"Sejumlah daerah mengalami bed occupancy rate (BOR) alias tingkat keterisian rumah sakit rujukan covid-19 di atas 80 persen, jauh di atas standar WHO yang di kisaran 50 persen," ucapnya.