Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir mengungkapkan produsen vaksin, Pfizer menginginkan kesepakatan dengan pemerintah alih-alih dengan perseroan. Dengan kata lain, perusahaan vaksin asal AS tersebut menginginkan kerja sama dalam skema business to government atau perusahaan dengan pemerintah.
Hal ini disebabkan, Pfizer ingin dibebaskan dari tuntutan hukum jika terjadi efek samping dari vaksin covid-19 dalam jangka pendek maupun panjang.
"Mereka memang minta perlakukan khusus dari pemerintah untuk dibebaskan dari klaim hukum baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap kasus efek samping dari vaksin mereka. Itulah sebabnya, Pfizer dengan dimanapun mereka melakukan deal, mereka minta itu langsung dilakukan dengan pemerintah," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Kamis (14/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, skema tersebut cenderung berbeda dengan sejumlah perusahaan produsen vaksin lainnya seperti Sinovac, China dan Novavax, AS. Kedua perusahaan tersebut bersedia menerapkan prinsip indemnitas, atau pemberian ganti rugi secara keuangan, sehingga pihak yang dirugikan memiliki kondisi keuangan seperti sebelum kerugian terjadi.
Masing-masing perusahaan vaksin, kata dia, menerapkan prinsip indemnitas dengan skala yang berbeda.
"Seperti dengan Sinovac dan Novavax, karena ini adalah platform yang sudah teruji sekian puluh tahun lamanya, terutama yang genetif, jadi indemnitas mereka itu lebih karena tanggung jawab masing-masing. Misalnya, Sinovac dia produksi lalu kirim ke Bio Farma, kalau ada kerusakan akibat kesalahan di Bio Farma, mereka tidak mau dikenakan ganti rugi dan begitu sebaliknya. Novavax juga seperti itu," paparnya.
Lihat juga:Yusuf Mansur: Beli Saham BRIS Bukan ke Saya |
Karenanya, ia mengaku masih berdiskusi dengan pihak Pfizer terkait sejumlah klausul. Antara lain, Bio Farma meminta Pfizer tetap memberlakukan prinsip indemnitas dengan pemerintah. Sementara itu, perjanjian pembelian vaksin covid-19 (supply agreement) tetap dilakukan dengan Bio Farma.
"Ada usulan yang kami sampaikan pendapat dari teman-teman hukum, bahwa indemnitas ini hanya berlaku sampai pandemi berakhir. Ini yang sedang kami diskusikan dengan Pfizer apakah ini bisa diterima atau tidak," jelasnya.
Vaksin asal AS tersebut telah mendapatkan izin penggunaan dalam kondisi darurat dari Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada Kamis (31/12). Dalam produksinya, Pfizer bekerja sama dengan BioNTech hingga menghasilkan vaksin virus corona dengan efikasi mencapai 90 persen.
Kendati demikian, vaksin Pfizer harus disimpan dalam suhu beku minimal minus 70 derajat celcius. Hal ini menyebabkan distribusi vaksin tersebut membutuhkan perhatian ekstra, terutama di negara tropis.