Bank Indonesia (BI) menyuntikkan likuiditas ke perbankan Rp726,57 triliun sejak awal tahun hingga awal Oktober 2020. Injeksi dilakukan melalui pelonggaran moneter lewat instrumen kuantitas atau quantitative easing (QE).
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan suntikan likuiditas itu dilakukan melalui pembelian surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder sebesar Rp166,2 triliun dan term repo dan FX swap perbankan Rp389,6 triliun.
Lalu, penurunan giro wajib minimum (GWM) rupiah 300 basis poin (bps) sekitar Rp155 triliun dan tidak mengenakan tambahan giro untuk rasio intermediasi makroekonomi (RIM) Rp15,8 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, BI membeli SBN sebesar Rp13,66 triliun per 19 Januari 2021. Pembelian ini merupakan kebijakan lanjutan dari kesepakatan antara pemerintah dan BI pada 2020 demi memulihkan ekonomi nasional yang tertekan pandemi covid-19.
Perry merinci pembelian SBN dilakukan lewat mekanisme lelang utama sebesar Rp9,18 triliun dan lelang tambahan (greenshoe option) sebesar Rp4,48 triliun. Pembelian SBN pada tahun ini merujuk pada perpanjangan kesepakatan yang mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) I yang diterbitkan pada 16 April 2020.
Kesepakatan itu awalnya berakhir pada 31 Desember 2020. Namun, pemerintah dan BI memperpanjang kesepakatan tersebut hingga 31 Desember 2021.
Artinya, BI masih dapat membeli SBN di pasar perdana ketika pasar tidak bisa menyerap seluruh lelang surat utang. Dengan kata lain, bank sentral menjadi non competitive bidder.
Kendati demikian, BI hanya bisa membeli maksimum 25 persen untuk SBN dan maksimum 30 persen untuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Selain itu, BI juga bisa membeli untuk lelang tambahan dan private placement.