ANALISIS

Tak Efektif Dongkrak Ekonomi, BLT Subsidi Upah Wajar Disetop

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Rabu, 03 Feb 2021 07:37 WIB
Ekonom menilai BLT subsidi upah memang harus disetop, karena tidak efektif mendongkrak ekonomi dan berpotensi salah sasaran.
Ekonom menilai BLT subsidi upah memang harus disetop, karena tidak efektif mendongkrak ekonomi dan berpotensi salah sasaran. Ilustrasi pekerja. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah tak akan melanjutkan pemberian bantuan subsidi upah atau BLT subsidi gaji pada tahun ini. Alasannya, BLT untuk pekerja bergaji di bawah Rp5 juta itu tidak dialokasikan dalam APBN 2021.

"Kami masih menunggu. Sementara, memang di APBN 2021 belum atau tidak dialokasikan. Nanti kami lihat, bagaimana kondisi ekonomi berikutnya, tetapi memang tidak dialokasikan," ungkap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.

Informasi tersebut diamini oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari. Ia membenarkan pemerintah tidak lagi menggelontorkan anggaran program tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan karena kantong negara cekak, melainkan ekonomi di dalam negeri dinilai membaik. Selain itu juga pemerintah memiliki program prioritas tahun ini, yakni vaksinasi covid-19.

Meskipun BLT gaji berhenti, namun bantuan sosial lainnya bagi masyarakat terdampak covid-19 masih lanjut. "Di APBN 2021 tidak terdapat anggaran (BLT Pekerja) tersebut," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/2).

Ekonom mendukung keputusan pemerintah menyetop program bantuan senilai Rp2,4 juta itu, lantaran dinilai kurang efektif mendorong pemulihan ekonomi. Namun, mereka menyatakan pemerintah perlu menggagas program bantuan sosial baru yang lebih efektif dan tepat sasaran.

Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati menuturkan penyebab program BLT gaji kurang tepat sasaran karena menggunakan data penerima BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, bantuan sosial seharusnya menyasar masyarakat miskin dan rentan miskin lantaran mereka yang paling terdampak pandemi covid-19.

"Pertanyaannya apakah mereka (penerima BLT gaji) tergolong rentan miskin? Kan, ternyata tidak semuanya. Jadi, kriteria pemberian subsidi itu belum tentu efektif, belum ada data terintegrasi bahwa (penerima BLT gaji) ini sangat membutuhkan. Jadi, memang sebaiknya dihentikan," ujarnya.

Karenanya, sebaiknya, kata dia, pemerintah membuat program bantuan sosial baru yang menyasar korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Pemerintah bisa menggagas program baru berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) guna melengkapi program eksisting. Program-program itu lebih efektif membantu ekonomi, serta daya beli masyarakat terdampak covid-19 ketimbang BLT gaji.

Persoalan data memang kerap menjadi dalang karut marut pembagian bansos. Kementerian Sosial menargetkan penyempurnaan DTKS dan perluasan sasaran hingga 60 persen masyarakat dengan pendapatan terbawah pada 2021 ini atau berarti, pendataan akan mencakup 41.697.344 rumah tangga (162.003.487 jiwa).

[Gambas:Video CNN]

"DTKS itu yang harus betul-betul diperbaiki, dulu awal pandemi sudah ada data bottom up dari RT, RW, sampai daerah untuk setor data validasi siapa yang kena dampak, itu yang harus diurus, tugasnya Menteri Sosial," jelasnya.

Sepakat, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menuturkan BLT gaji memang tidak menyelesaikan permasalahan lesunya daya beli masyarakat akibat pandemi covid-19. Menurutnya, untuk memperbaiki daya beli, harus lebih dahulu dicanangkan solusi dari hulu, yaitu dari sisi industri pemberi kerja, bukan hilir.

"Itu tidak akan menyelesaikan masalah. Oke, sekarang dapat gaji tambahan, tapi di bulan berikutnya tidak ada yang menjamin dia masih bisa kerja atau tidak, jadi yang harus disubsidi itu perusahaan," terang dia.

Fithra menilai skema BLT gaji yang selama ini dilakukan pemerintah salah. Ia pun menyarankan pemerintah mencontoh skema pemberian subsidi gaji kepada perusahaan seperti negara-negara di Eropa.

Caranya, pemerintah mensubsidi 25 persen sampai 30 persen gaji karyawan, sehingga perusahaan tidak membayarkan 100 persen gaji. Skema ini dinilai lebih efektif mengurangi beban operasional perusahaan.

Tujuannya, perusahaan bisa bertahan sehingga tidak memangkas gaji karyawan maupun melakukan PHK. Dengan demikian, daya beli masyarakat masih terjaga karena tidak ada pengurangan gaji maupun PHK.

"Kenapa karyawan ini kehilangan daya beli, ini yang dicari penyebabnya. Salah satu penyebabnya karena industri kolaps, tidak mampu tanggung biaya operasional yang besar, bayar listrik dan gaji pegawai. Jadi, sudah seharusnya diarahkan ke sana dan tidak akan efektif kalau kita hanya fokus pada karyawan bergaji di bawah Rp5 juta," jelasnya.

Padahal, bila industri terlanjur kolaps, bahkan sampai menjual aset utama, maka pemulihan ekonomi justru terancam berjalan lambat.

Sebagai gambaran, PHRI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan terdapat sekitar 50 hotel di Yogyakarta terindikasi gulung tikar atau bangkrut.

Bahkan, sang pemilik terpaksa menjual aset bangunan hotel karena sudah tidak mampu lagi menanggung beban operasional di masa pandemi corona.

"Untuk establish jangka pendek, balik lagi ke keadaan normal tidak bisa langsung. Jadi, BLT masih tetap harus dilanjutkan tapi bukan BLT gaji, melainkan BLT dalam bentuk cash transfer kepada UMKM dan juga tambahan subsidi untuk perusahaan dan industri, karena dampak penggandanya sangat signifikan," katanya.

Toh, ia menilai APBN masih memiliki kemampuan untuk melakukan subsidi gaji kepada perusahaan. Alternatif lain untuk mengurangi beban APBN, maka subsidi gaji perusahaan diarahkan kepada sektor terdampak paling parah, misalnya sektor pariwisata dan turunannya.

Pertimbangannya, dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang digelontorkan pemerintah terbilang lebih kecil dibandingkan sejumlah negara. Misalnya, Jerman yang paling jor-joran menggelontorkan stimulus ekonomi, yakni 31 persen dari PDB, disusul Jepang sekitar 20 persen-22 persen dari PDB.

Negara berkembang seperti Brasil sebesar 10 persen dari PDB, sedangkan Malaysia mendekati 10 persen dari PDB. Sementara itu, Indonesia menggelontorkan dana sebesar Rp695,2 triliun atau baru sekitar 4,96 persen dari PDB, yaitu US$1 triliun, atau Rp14 ribu triliun (kurs Rp14.000 per dolar AS) di 2020.

Tahun ini, jumlah stimulus berkurang menjadi Rp553,09 triliun, meskipun sudah bertambah dari rencana awal Rp403,9 triliun. Namun, ia menyatakan bertambahnya jumlah stimulus fiskal itu memiliki konsekuensi, yakni penambahan utang pemerintah serta pelebaran defisit anggaran.

"Jadi, kalau bicara pemulihan ekonomi ada dua langkah, pertama harus dilakukan intervensi kesehatan lewat vaksin dan pembatasan sosial dan kedua genjot PEN. Intinya, jangan pelit untuk dana PEN jangka pendek, karena hasilnya akan kita dapatkan di jangka panjang," tuturnya.

Pengaruh ke Daya Beli

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER