PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN mengaku siap membayar tunggakan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sebesar Rp3,06 triliun. Namun, perseroan akan membayar tunggakan pajak itu secara dicicil.
Informasi tersebut diketahui dari surat perseroan kepada PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang diunggah melalui keterbukaan informasi BEI. Surat tersebut tertanggal 2 Februari 2021 dengan nomor 002000.S/HM.02.03/COS/2021.
"Perseroan akan mengajukan surat permohonan pembayaran cicilan/angsuran setelah menerima surat tagihan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP)," tutur Sekretaris Perusahaan Rachmat Hutama dalam surat itu dikutip Kamis (4/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan perseroan telah menerima salinan putusan Mahkamah Agung (MA) dari Pengadilan Pajak untuk 9 perkara pajak.
Meliputi, 5 perkara pajak terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) gas bumi untuk periode 2012.
Lalu, 3 perkara pajak terkait PPN gas bumi untuk periode 2013 dan 1 perkara pajak terkait pajak lainnya untuk periode 2012.
Sementara itu, potensi denda terkait dengan 49 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar Rp3,06 triliun. Perkara itu diajukan oleh DJP sebagai pemohon Peninjauan Kembali (PK) ke MA.
Rachmat mengakui apabila kasus perpajakan tersebut membutuhkan arus kas (cash flow) yang cukup besar dari perseroan untuk memenuhi tunggakannya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan perseroan akan berupaya untuk menyampaikan permohonan pembayaran secara angsuran atau cicilan ke DJP.
"Perseroan masih memiliki fasilitas standby loan yang mencukupi, sehingga kegiatan operasional perseroan masih dapat berjalan dengan baik," katanya.
Sementara itu, perusahaan pelat merah tersebut masih mengkaji dan mengevaluasi permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada MA. Perseroan juga sedang mengkaji upaya-upaya lainnya dengan memperhatikan kepentingan perseroan.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menjelaskan kasus sengketa pajak antara PGN dan DJP bermula pada 2018. Kala itu, DJP menduga PGN perlu membayar pajak atas bisnisnya, namun tidak dilaksanakan oleh perusahaan pelat merah itu. Dugaan itu berujung di pengadilan pajak.
"Ketika di pengadilan pajak, kami menang, tapi ada ketentuan bahwa teman-teman dari Kementerian Keuangan harus masuk ke PK (peninjauan kembali). Itu ketentuannya," terang Arya kepada awak media secara virtual.
Saat DJP melakukan PK, MA memutuskan memenangkan DJP atas kasus sengketa pajak itu. PGN pun diputuskan perlu membayar sekitar Rp3,06 triliun kepada negara.
Namun, menurut Arya, otoritas pajak sempat menetapkan status PGN bukan objek pajak. Atas hal ini, Arya meyakini seharusnya PGN tidak perlu membayar pajak karena bukan objek pajak. Ia menjelaskan PGN dapat ditetapkan bukan objek pajak karena tidak melakukan pungutan pajak atas gas yang dijual ke konsumen.
"Tapi sebelumnya, sudah ada peraturan keluar dari Direktur Jenderal Pajak bahwa wajib pajak tersebut (PGN) bukan lah objek pajak. Ini sudah mereka akui dari 2014 - 2017," imbuh dia.