Wakil Direktur PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menjadikan tingkat emisi karbon sebagai indikator tolak ukur kesejahteraan masyarakat di dunia. Menurutnya, negara dengan emisi karbon tertinggi umumnya lebih makmur.
Hal ini diungkapnya saat mengisi acara Media Group News Summit Indonesia 2021 secara virtual pada Kamis (28/1). Dalam pemaparannya, ia mengungkapkan tingkat emisi karbon Australia mencapai 16,9 juta ton per tahun per orang.
Sementara Amerika Serikat berada di posisi kedua dengan jumlah 13,5 juta ton per tahun per orang. Menurutnya, tingginya emisi karbon di Australia dan AS terjadi karena mayoritas penduduk memiliki mobil, menggunakan AC, dan berpendapatan lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Indonesia hanya 1,8 juta ton per tahun per orang. "Emisi karbon per kapita ini menjadi suatu indikator tingkat kemakmuran dari suatu negara. Bayangkan, ketika pendapatan negerinya meningkat, semua orang rumahnya ber-AC, semua orang bisa beli mobil, tentu emisi karbonnya meningkat," kata Darmawan.
Kendati begitu, pandangan ini tidak disetujui oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. Menurutnya, indikator emisi karbon tidak bisa menjadi tolak ukur kesejahteraan masyarakat suatu negara.
Sebab, perhitungan seharusnya merujuk pada kemampuan suatu negara memproduksi energi dan mencukupi kebutuhan masyarakatnya.
"Saya kurang sependapat dengan CO2 dipakai sebagai indikator kemakmuran, masa buangan dipakai sebagai indikator kemakmuran? Mestinya input-an, jadi kalau electricity per kapitanya tinggi, itu lah tingkat kemakmuran yang besar, tingkat kemakmuran yang lebih baik," jelas Arifin.
Tak hanya itu, indikator kemakmuran masyarakat justru seharusnya mengacu pada negara-negara yang bisa membangun sumber energi dengan lebih ramah lingkungan dan menggunakan berbagai teknologi tinggi.
Menteri LHK Siti Nurbaya sempat menargetkan tingkat emisi karbon Indonesia bisa nol persen pada 2070. Sementara Jepang menargetkannya pada 2050.