Kronologi Nasabah Masuk Penjara Gara-gara BCA Salah Transfer
Seorang makelar mobil asal Surabaya, Ardi Pertama, harus mendekam di penjara selama tiga bulan gara-gara menerima uang transfer nyasar sebesar Rp51 juta dari PT Bank Central Asia (BCA). Ia ditahan sejak 10 November 2020 lalu di Rutan kelas I Medaeng, Surabaya.
Kuasa hukum Ardi, R Hendrix Kurniawan, mengatakan kasus ini bermula dari 17 Maret 2020. Saat itu, kliennya menerima transfer sebesar Rp51 juta tanpa ada keterangan asal-usul dana tersebut kecuali kliring warkat BI.
Karena itu lah, kata Hendrix, kliennya sempat mengira uang itu merupakan hasil komisi dari penjualan mobil. "Sebab, di saat yang bersamaan dia juga juga jadi perantara proses jual beli mobil dengan beberapa orang," ungkapnya, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (26/2).
Uang itu baru ketahuan asal-usulnya hampir dua pekan setelahnya. Seorang back office BCA Citraland Surabaya berinisial NK diduga salah menginput nomor rekening sehingga kesalahan transfer terjadi.
Pihak bank pun baru menyadari ada kesalahan transfer 10 hari kemudian, ketika si penerima sesungguhnya komplain uang tak sampai. Kemudian, BCA yang diwakili oleh NK dan I datang ke kediaman Ardi dengan maksud meminta pengembalian tersebut.
Sayang, uang tersebut terlanjur terpakai. Meski demikian, kata Hendrix, kliennya tetap menyanggupi untuk membayar uang tersebut dengan mencicil. Namun cara pengembalian tersebut ditolak. Pihak BCA menghendaki pembayaran secara utuh sesuai nominal yang diterima kliennya.
Keesokan harinya, Ardi mendapat surat somasi dari pihak BCA. Tercatat, somasi dilayangkan dua kali pada Maret dan bulan April 2020.
Persoalan ini sempat mendingin sebelum akhirnya pada 21 Agustus, BCA melaporkan Ardi ke kepolisian. "Awalnya hanya dipanggil sebagai saksi, klien saya kooperatif datang dan menunjukkan itikad baik," tutur Hendrix.
Bahkan, pada Oktober 2020, Ardi mendatangi kantor BCA untuk mengembalikan uang Rp 51 juta tersebut. "Anehnya BCA Citraland menolak dan meminta uang itu dibayarkan kepada NK pegawai yang melapor. Karena katanya uang Rp51 juta itu sudah dibayar dengan uang si pelapor," tambahnya.
Tak berlangsung lama, pada 10 November 2020, Ardi resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dengan tuduhan Pasal 855 UU Nomor 3 Tahun 2011 dan TPPU UU Nomor 4 Tahun 2010.
Persidangan
Menurut Hendrix, penahanan seharusnya tidak dilakukan sebab sejak awal kliennya sudah beritikad baik untuk membayar. BCA seharusnya juga menjadi pihak penengah jika kasus itu bukan lagi antara bank dengan nasabah, melainkan antar individu, yaitu pegawai bank dengan kliennya.
"Sejak awal klien saya menunjukkan itikad baik, menyetor uang Rp5 juta ke rekeningnya supaya ada dana mengendap Rp10 juta. Harusnya enggak usah juga sampai pidana, terus buat apa dong kita selama ini koar koar restorative justice," tuturnya.
Saat ini, Hendrix dan kliennya masih menjalani proses sidang dengan harapan hakim dapat mengabulkan eksepsi yang disampaikan. "Kami lagi menunggu jawaban jaksa atas eksepsi kami. Agenda Kamis depannya putusan sela," tuturnya.
Terkait kasus itu, Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F Haryn mengatakan pihaknya telah menjalankan operasional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
"Kami sampaikan bahwa kasus tersebut sedang dalam proses hukum dan BCA tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan," ucapnya.
Ia membenarkan bahwa BCA, telah memberikan somasi dan memintanya untuk segera mengembalikan dana tersebut sebanyak dua kali sejak Maret 2020.
"Namun, nasabah yang bersangkutan baru menunjukkan upaya pengembalian dana secara utuh pada bulan Oktober 2020, dimana proses hukum atas kasus ini sudah dimulai sejak Agustus 2020," ujarnya.
Hera menegaskan bahwa dalam setiap kasus kesalahan transfer yang dilakukan oleh bank, tiap nasabah wajib mengembalikan uang tersebut.
Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana di mana penguasaan dana hasil transfer oleh seseorang yang diketahui atau patut diketahui bukan miliknya diancam pidana.
"Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar," seperti dikutip dari Pasal 85 UU3/2011.
(hrf/bir)