Menurut Bhima, sebenarnya banyak celah-celah pendanaan yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menutup kebutuhan belanja APBN selain utang. Pertama tentunya adalah penerimaan perpajakan.
Memang, pandemi melemahkan ekonomi. Begitu juga ekonomi para wajib pajak, sehingga bukannya menyetor pungutan ke negara, mereka malah mendapat insentif karena tertekan ekonominya.
Kendati demikian, hal ini bukan alasan bagi Bhima. Menurutnya, insentif boleh tetap diberikan kepada wajib pajak yang perlu mendapatkan, yang paling riskan saat ini, dan perlu dukungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Impor Beras Diklaim Strategi Lawan Mafia |
Namun, pajak sejatinya masih bisa dikenakan ke sektor-sektor yang mampu bertahan di tengah pandemi bahkan meraup 'cuan'. Dengan begitu, rasio pembayaran pajak (tax ratio), tidak anjlok seperti saat ini.
Tercatat, rasio pajak Indonesia hanya berkisar 8,3 persen pada tahun ini. Menurut catatan Bhima, ini merupakan yang terendah dalam delapan tahun terakhir.
"(Penerimaan pajak dan rasio pajak) trennya cenderung turun, padahal pemerintah punya banyak amunisi, termasuk pertukaran data pajak dan basis data tax amnesty untuk tingkatkan kepatuhan pajak. (Rasio pajak) kalau naik saja jadi 9,5 persen sampai 10 persen, sudah banyak sumbang penerimaan negara dibanding tambah utang," jelasnya.
Untuk menggenjot rasio pajak, caranya memang perlu dilakukan dalam banyak hal. Pasalnya, tujuan utama adalah menggugah kesadaran bayar pajak masyarakat, maka edukasi, sosialisasi, dan pelayanan yang baik menjadi kunci.
Selain penerimaan perpajakan, cara lain adalah mengevaluasi setiap pagu yang sudah direncanakan, apakah benar-benar perlu atau bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih penting sehingga bisa menjadi sumber dana baru? Menurut Bhima, hal ini sangat perlu dilakukan, karena suka tidak suka, prioritas harus diutamakan.
Sedangkan pengeluaran yang belum bisa mendesak, bisa dikurangi atau bahkan dipotong dulu. Misalnya, infrastruktur.
"Solusi lain adalah melakukan realokasi anggaran secara ekstrem, misalnya anggaran infrastruktur Rp414 triliun, sebesar 40 persen dihemat. Artinya ada saving Rp165 triliun dalam satu tahun anggaran," terangnya.
Bagi Bhima, hal ini boleh saja dilakukan dan belum tentu sepenuhnya mengganggu kinerja ekonomi ke depan. "Toh, ada beberapa proyek yang masih dalam perencanaan bisa disetop dulu dan fokus pada pengendalian defisit APBN," tuturnya.
Lihat juga:Etika Penagihan Utang oleh Debt Collector |
Cara terakhir, bila mau tidak mau tetap utang pun, pemerintah dapat menego pemberi utang, khususnya yang merupakan lembaga multilateral. Nego ini agar utang yang ditarik mendapat keringanan.
"Pemerintah tidak perlu gengsi karena status Indonesia juga turun jadi lower middle income country karena resesi. Banyak negara yang sedang butuh ruang fiskal berani mengontak Bank Dunia misalnya, agar pokok utang atau bunga bisa didiskon," paparnya.
Bahkan tak cuma utang dari lembaga multilateral, bisa juga menego utang dari kreditur skala perusahaan dan ritel. "Ruang negosiasi bisa dibuka," imbuhnya.
Yusuf menambahkan. Keran pendanaan lain yang mungkin juga perlu diperiksa oleh pemerintah adalah ekstensifikasi pajak.
"Subjek pajak bisa digali dari profesi baru semisal youtube, influencer, atau profesi yang muncul seiring dengan perkembangan ekonomi digital. Adapun untuk objeknya juga bisa digali dari aktivitas perekonomian baru terutama dari perkembamgan teknologi digital," ungkap Yusuf.