Pemerintah berencana meng-impor garam untuk menutup kebutuhan industri pada tahun ini. Kebijakan ini selalu jadi sorotan karena Indonesia merupakan negara maritim, tapi produksi garam lokal tak pernah mampu memenuhi kebutuhan.
Usut punya usut, menurut Ekonom Indef Nailul Huda, keran impor lagi-lagi dibuka karena produksi garam di dalam negeri belum juga mampu memenuhi standar garam industri. Yaitu, karena persoalan kandungan Natrium Clorida (NaCl) yang rendah.
Kisaran kadarnya dari hasil produksi lokal cuma 88-94 persen. Padahal, kebutuhan industri mencapai 97 persen. Kondisi ini membuat hasil produksi garam di dalam negeri hanya bisa mengamankan kebutuhan konsumsi rumah tangga, tapi rendah pemenuhannya untuk industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Alasan Indonesia Impor Garam |
"Untuk kebutuhan garam industri, seperti ACL dan kimia, belum bisa dipenuhi oleh garam dalam negeri. Satu-satunya jalan adalah mengimpor dari luar," imbuh Huda kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/3).
Sebenarnya, garam lokal bisa saja sesuai standar. Tapi, harus diolah lagi agar NaCl-nya meningkat. Nah, pengolahannya ini tentu menambah biaya operasional yang ujungnya berpengaruh ke harga jual garam bagi industri.
Sayangnya, harga garam tersebut sering kali tidak masuk hitung-hitungan industri karena akan membuat mereka merogoh kocek lebih dalam. Sementara, harga garam industri yang diimpor justru lebih murah.
"Karena garam impor jauh lebih murah dibandingkan garam lokal," jelasnya.
Masalahnya, kondisi ini sudah bertahun-tahun terjadi, tapi produksi dalam negeri tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan industri. Lalu apa yang salah?
Huda mengatakan biang kerok rendahnya produksi garam lokal, baik dari sisi kualitas dan kuantitas, terjadi karena minim insentif dari pemerintah untuk petani garam.
"Petambak garam tidak mempunyai insentif untuk memproduksi garam industri. Hal ini karena sistem kristalisasi yang masih mengandalkan sinar matahari," ungkapnya.
Padahal, untuk mendapatkan garam dengan kadar NaCl yang tinggi, dibutuhkan waktu yang lebih lama. Namun, ketika seluruh rangkaian produksi yang memakan biaya itu sudah dilakukan, harga jual garam kualitas bagus dan jelek rupanya tidak signifikan.
Ia memberi contoh, harga garam untuk kualitas bagus dan jelek sempat sama di kisaran Rp150 per kilogram (kg) di Rembang. Padahal, menurut aturan harga pemerintah seharusnya garam kualitas 1 senilai Rp750 per kg dan kualitas 2 Rp500 per kg.
"Makanya daripada semakin lama mengkristalisasi garam yang tentu akan ber-impact ke cost production, petani ini milih produksi garam dengan kualitas jelek. Toh, harga jualnya sama saja," jelasnya.
Dampaknya, hasil produksi petani garam lokal tak pernah memenuhi standar industri alias selalu di bawahnya. Tak cuma soal insentif, Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menambahkan biang kerok lain adalah cuaca.
Ini mungkin bukan salah pelaku semata karena cuaca sulit diprediksi. Pada 2015 misalnya, karena cuaca mendukung, produksi garam nasional sebenarnya mencapai 2,9 juta ton.
Tapi giliran cuaca tidak mendukung, produksinya anjlok ke titik terendah menyentuh 180 ribu ton pada 2016, hanya selang setahun. Padahal, dulu di era 2001-2009, produksi garam terbilang stabil di kisaran 1-1,3 juta ton.
"Yang paling berpengaruh tetap cuaca, iklim. Pada 2015 itu El Nino, cuaca kering, produksi naik tajam. Pada 2016, ini kemarau basah, curah hujan tinggi," jelas Andreas.
Masalahnya, faktor cuaca ini memang tidak mudah diantisipasi oleh petani. Kalau mendadak hujan tinggi, mereka mungkin hanya menutup tambak dengan plastik, tanpa ada bantuan teknologi dan inovasi baru.
"Tapi apa cara ini diimbangi dengan harga garam yang pantas? Ini yang harus dipertanyakan. Karena pakai plastik pun butuh biaya tambahan, sementara garam impor lebih murah. Jadi, ini selalu jadi jalan pintas untuk penuhi kebutuhan garam di dalam negeri," paparnya.
Faktor lain, kemampuan PT Garam untuk menampung garam hasil produksi petani lokal masih belum besar. Padahal, mereka harus menyerapnya, termasuk juga mengolah kembali agar garam lokal meningkat kadar NaCl-nya dan bisa digunakan untuk industri.
Faktor yang tak kalah berpengaruh adalah skama pengelolaan garam di satu tambak alias single pond. Bagi Andreas, ini tidak buruk karena Australia juga menerapkannya.
"Tapi prosesnya harus diperbaiki, karena kalau hanya satu, air masuk ke situ, lalu dikeringkan dan dipanen, itu tidak pernah kualitasnya sesuai industri. Negara lain, India saja misalnya terapkan double pond, triple pond," katanya.
Menurut Andreas, hal-hal ini yang mempengaruhi rendahnya produksi garam nasional.
"Padahal Indonesia sebenarnya sangat berpotensi karena punya garis pantai terpanjang di dunia salah satunya, sehingga potensi untuk hasilkan garam cukup besar," pungkasnya.
(uli/bir)