Pascal Soriot, Sosok Gigih di Balik Vaksin Corona AstraZeneca

CNN Indonesia
Jumat, 19 Mar 2021 12:58 WIB
Di bawah kepemimpinan Pascal Soriot, AstraZeneca menjadi salah satu perusahaan farmasi pertama yang berhasil memproduksi vaksin covid-19.(Getty Images via AFP/WIN MCNAMEE).
Jakarta, CNN Indonesia --

Di bawah kepemimpinan Pascal Soriot, AstraZeneca menjadi salah satu perusahaan farmasi pertama yang berhasil memproduksi vaksin covid-19.

Keputusan perusahaan untuk mengembangkan vaksin dengan peneliti Universitas Oxford dan menjual vaksin dengan harga terjangkau, berhasil mengantarkan AstraZeneca menjadi perusahaan yang diakui dunia.

Namun, gegap gempita pujian tak bertahan lama. Usai mengumumkan vaksin telah lolos uji klinis dan diizinkan beredar oleh regulator, perusahaan malah dibanjiri berbagai masalah.

Salah satunya, kekacauan yang terjadi saat produksi dan pengiriman vaksin di Eropa yang mengalami keterlambatan. Bersamaan dengan itu, hasil uji klinis AstraZeneca menimbulkan pertanyaan akan efektivitas vaksin kepada kelompok lansia di atas 65 tahun.

Walau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan European Medicines Agency telah menyatakan manfaat vaksin lebih besar daripada risiko, namun beberapa negara tetap pada pendiriannya.

Dua di antaranya adalah Prancis dan Jerman yang menangguhkan penyuntikan selama investigasi terkait efek samping pembekuan darah tengah berlangsung.

Berbagai 'serangan' bertubi-tubi yang dihadapi Soriot tak membuat semangatnya surut. Pria asal Prancis berusia 61 tahun ini berdiri menjadi tameng perusahaan seiring dengan keputusan perusahaan mengakuisisi Alexion, perusahaan biotech asal Amerika Serikat (AS) senilai US$29 miliar atau setara Rp406 triliun (kurs Rp14 ribu).

Tak peduli pertanyaan dan penangguhan yang diterima, AstraZeneca tetap pada pendiriannya yakni vaksin covid-19 racikannya aman dan perusahaan bekerja sama dengan pemerintah hingga regulator dunia.

Pada wawancaranya dengan The Times pada Desember lalu, Soroit pernah menyanggah para pengkritiknya.

"Saya adalah seorang pemain, saya bukan penonton atau tukang komentar," katanya dengan jengkel, dikutip dari AFP pada Kamis (18/3).

Soriot memulai kariernya di Australia, dia mengambil warga negara Australia dan tinggal di sana bersama keluarganya. Akibat pandemi, selama 12 bulan terakhir, ia diharuskan bolak-balik antara Australia, AS, dan Eropa. Ia bahkan menceritakan keputusan membeli Alexion diambil di tengah karantina dalam hotel.

Dalam rapat virtual Februari lalu, saat membahas kinerja tahunan perusahaan, ia membela peran perusahaan dalam mengembangkan vaksin yang menyelamatkan hidup manusia dengan membara.

"Apakah semuanya berjalan sempurna? Tidak." katanya dengan menekankan kalau vaksin memberikan perlindungan 100 persen terhadap kasus covid-19 yang paling serius.

Kepada Times, ia mengakui setahun terakhir merupakan waktu terberat. Kerap kali, satu-satunya teman yang dimilikinya adalah Daisy, kucingnya.

Sebetulnya, sejak menjabat sebagai CEO AstraZeneca pada 2012 silam, Soriot tidak lagi asing bergulat dengan tantangan dan kompetisi.

Pada 2014 misalnya, ia menggagalkan usaha Pfizer untuk mengakuisisi AstraZeneca dengan tawaran senilai 69 miliar Euro. Ia mempertahankan AstraZeneca karena akuisisi akan mengganggu pengembangan pengobatan kanker jika perusahaan AS itu diperbolehkan membeli AstraZeneca.

Lagi-lagi bersinggungan dengan Pfizer, kedua perusahaan juga bersaing ketat untuk menjadi produsen vaksin covid-19 pertama dunia. Soriot merupakan lulusan sekolah kedokteran hewan Maison Alfort di tenggara Paris, ia juga menyabet gelar MBA dari HEC Paris Business School.

Sepak terjangnya di dunia farmasi dimulai pada 1980-an saat ia pindah ke Australia dan menghabiskan bertahun-tahun sebagai sales untuk laboratorium Prancis Roussel Uclaf yang kemudian diambil alih oleh grup farmasi Jerman, Hoechst Marion pada 1995.

Ia kemudian menjabat sebagai direktur pelaksana perusahaan dan pindah ke Jepang pada 1997. Masih bergulat dengan dunia farmasi, pada 2006 dia berpindah ke Roche, perusahaan farmasi asal Swiss. Lalu, dari 2009-2010, ia mengepalai Genentech, anak perusahaan Roche.

Baru lah pada 2012 ia berlabuh di AstraZeneca. Di bawah kepemimpinannya, pasar menunjukkan kepercayaan kepada perusahaan. Harga saham perusahaan naik hampir dua kali lipat dalam waktu 5 tahun.

Sayangnya, hal itu tidak bertahan lama. Pada tahun ini, saham AstraZeneca anjlok 2 persen, berkebalikan dengan indeks tempatnya melantai, FTSE-100, yang naik 5 persen sejak 1 Januari 2021.

Menurut para analis, harga perusahaan menyusut dalam beberapa bulan terakhir akibat pembelian Alexion yang dianggap terlalu tinggi.



(wel/age)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK