Senada, Ekonom INDEF Nailul Huda juga bingung dengan rencana impor beras. Apalagi, menurut survei yang pernah dilakukan lembaganya, produksi beras nasional seharusnya mencapai 14,54 juta ton pada Januari-April 2021.
Jumlahnya lebih banyak dari 11,46 juta ton pada Januari-April 2020. Bahkan, kalau dihitung-hitung secara tahunan, kemungkinan produksi beras pada tahun ini bisa mencapai 31,33 juta ton, sementara konsumsi cuma sekitar 30 juta ton.
"Perhitungan INDEF bahkan dengan kondisi business as usual seperti tahun lalu kita masih bisa surplus hingga 1 juta ton. Jumlah itu bisa untuk pasokan cadangan beras selama setahun, biasanya digunakan untuk stabilisasi harga dan bencana alam," terang Huda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pembanding, data Badan Pusat Statistik (BPS) pun juga mengatakan demikian. Potensi produksi tercatat mencapai 14,54 juta ton pada Januari-April 2021.
Jumlahnya lebih tinggi dari Januari-April 2019 dan Januari-April 2020, masing-masing 13,63 juta ton dan 11,46 juta ton. Dengan proyeksi tersebut, ia meyakini hasil produksi, khususnya dengan panen raya yang akan terjadi dalam waktu dekat, akan cukup 'mengisi perut' masyarakat.
Di sisi lain, kalau pun ada alasan pertimbangan stabilisasi harga jelang ramadan, toh nyatanya, inflasi masih rendah. Bahkan, harga beras relatif stabil setahun terakhir. Begitu pula dengan keinginan mengamankan stok untuk pasokan logistik bencana alam, semuanya masih tercukupi.
Huda pun menduga mungkin ada maksud lain dari rencana impor beras ini, salah satunya celah mencari keuntungan dari kebijakan pemerintah atau rente (bunga), meski tak menyebut kemungkinan pihak-pihak mana yang kemungkinan bisa mendapat 'cipratan' rente itu.
"Jadi saya tidak paham apakah untuk stok puasa dan lebaran atau memang rente impor saja. Saya cenderung impor beras ini memang rente. Pak Airlangga dan Pak Lutfi sudah membuat kebijakan yang sembrono," katanya.
Sementara untuk daging sapi, Huda masih bisa memberi pengertian lantaran produksi di dalam negeri masih sangat minim. Sedangkan kebutuhan konsumsinya tinggi.
"Memang terjadi kekurangan supply dari dalam negeri atau stok yang tersedia masih kurang," ucapnya.
Begitu juga dengan impor garam. Huda mengakui Indonesia memang masih tertinggal untuk pemenuhan kebutuhan yang satu ini.
Kendati kebutuhan garam industri memang sulit dipenuhi oleh produksi lokal, tapi bukan berarti Indonesia harus menyerah dan mudah mengambil jalan pintas impor garam industri setiap tahun. Meski, harganya lebih murah juga.
Sebab, industri di dalam negeri suka tidak suka, mau tidak mau, tetap harus dikembangkan dan dijaga. Maka, peningkatan produktivitas dari sisi kualitas dan kuantitas tetap perlu dilakukan, sehingga bisa penuhi semua kebutuhan, baik untuk industri maupun konsumsi rumah tangga.
"Saya kira perlu subsidi ke petambak agar mau meningkatkan kualitas garam. Petambak garam tidak mempunyai insentif untuk memproduksi garam industri. Hal ini karena sistem kristalisasi yang masih mengandalkan sinar matahari," tutur Huda.
Padahal, untuk mendapatkan garam dengan kadar NaCl yang tinggi, dibutuhkan waktu yang lebih lama. Namun, ketika seluruh rangkaian produksi yang memakan biaya itu sudah dilakukan, harga jual garam kualitas bagus dan jelek rupanya tidak signifikan.
Ia memberi contoh, harga garam untuk kualitas bagus dan jelek sempat sama di kisaran Rp150 per kilogram (kg) di Rembang. Padahal, menurut aturan harga pemerintah seharusnya garam kualitas 1 senilai Rp750 per kg dan kualitas 2 Rp500 per kg.
"Makanya daripada semakin lama menkristalisasi garam yang tentu akan ber-impact ke cost production, petani ini milih produksi garam dengan kualitas jelek. Toh, harga jualnya sama saja," jelasnya.
Sementara untuk mengatasi impor daging, menurutnya, pemerintah perlu serius membesarkan sektor peternakan nasional. Perlu peningkatan produktivitas agar tidak melulu bergantung impor juga.
Sedangkan untuk beras, sebenarnya sudah tidak ada yang perlu dilakukan, toh produksinya sudah cukup. Hanya saja, mungkin perlu tata kelola data dan tetap memberi akses subsidi hingga pembiayaan kepada petani.
Khudori menambahkan, perlu kebijakan penguatan pangan yang bisa membuat petani berdaulat agar keran impor tidak mudah dibuka. Ia mengatakan agar petani berdaulat, perlu akses luar biasa terhadap berbagai sumber daya yang dibutuhkan, mulai dari lahan, air, pupuk, benih, pasar, modal, dan lainnya.
"Atur pasar yang adil yang menjamin petani mendapatkan harga yang menguntungkan dan mensejahterakan. Ini saja penuhi dulu," pungkasnya.