Pengusaha mengungkapkan alasan Indonesia masih mengimpor daging sapi meskipun punya banyak peternakan rakyat maupun secara industri.
Ketua Komite Tetap Industri Peternakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yudi Guntara Noor menjelaskan populasi sapi banyak belum tentu menghasilkan banyak daging sapi. Pasalnya, jenis peternakan sapi di Indonesia banyak yang bersifat sosial security. Artinya peternak hanya akan menjual atau memotong sapi ketika butuh misalnya untuk kurban, hajatan, dan sebagainya.
"Jadi itu sangat tidak jelas kapan, sedangkan konsumen di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan daerah lainnya, itu ada industri, rumah tangga, horeka (hotel, restoran, kafe), yang memang tiap hari membutuhkan pasokan daging," ujarnya dalam diskusi bertajuk Kerja Sama Indonesia - Australia dalam Industri Sapi dan Daging Sapi 2021, Senin (22/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengungkapkan konsumsi daging sapi di Indonesia tertinggi berada di lima wilayah yakni DKI Jakarta sebanyak 6,38 kg per kapita per tahun, NTB 4,25 kg, Jawa Barat 3,47 kg, Jawa Timur 3,46 kg, dan Banten 2,18 kg. Secara nasional, total konsumsi daging sapi dan kerbau Indonesia sebesar 717,15 ribu ton per tahun atau 2,66 kg per kapita per tahun.
"Secara nasional (pasokan daging sapi) kita masih kurang, meski konsumsi kita sekitar 2,5-2,6 kg per kapita per tahun, tapi penduduk kita itu 270 juta orang, ini cukup besar untuk sebuah negara membutuhkan pasokan daging sapinya," terangnya.
Namun, pusat konsumsi daging sapi justru tidak berada di sentra padat sapinya, tapi daerah-daerah padat penduduk. Kondisi ini menjadi masalah bagi pasokan daging sapi di Indonesia.
"Indonesia ada masalah dengan ini, tidak semua yang pasarnya daging besar, populasi sapinya juga besar. Ini juga akan jadi masalah bagaimana alirkan daging sapi dan sapi hidup dari produsen ke konsumen," katanya.
Ia menuturkan wilayah sentra produksi sapi antara lain NTT, NTB, dan Jawa Timur. Sementara itu, Jawa Barat dan DKI Jakarta yang merupakan konsumen terbesar daging sapi, mengambil pasokan daging dari luar wilayah.
"Ini mengindikasikan bahwa harus melakukan bagaimana memobilisasi nantinya baik daging sapi, baik sapi hidup dari daerah-daerah produsen berlebih ke wilayah-wilayah ini," terangnya
Dalam kesempatan itu, Yudi juga mendorong pemerintah untuk segera memastikan ketersediaan daging sapi jelang puasa dan lebaran 2021, lantaran kebutuhan dipastikan naik. Menurutnya, pasokan daging sapi untuk puasa dan Lebaran kali ini cukup menantang dibandingkan tahun lalu.
Alasannya, peternakan sapi di Australia belum pulih sehingga diprediksi sapi impor Australia baru mendarat di Indonesia justru usai lebaran. Oleh sebab itu, guna memenuhi kebutuhan daging sapi pada puasa dan lebaran tahun ini akan menggunakan stok Januari 2021 lalu yang notabene harganya mahal.
"Jadi, komitmen pemerintah untuk tanda kutip ke pedagang DKI Jakarta, akan mengunci harga di Rp96 ribu per kg tidak mungkin, karena kalau kami hitung harga kedatangan sapi yang masuk Januari ke sini sudah pasti dijual di atas Rp152 ribu per kg," jelasnya.
Sedangkan dari sisi pasokan dalam negeri, ia menuturkan jumlahnya juga tidak mencukupi. Ia mengatakan jumlah sapi di fasilitas penggemukan alias feedlot saat ini diprediksi hanya mencapai Rp90 ribu- Rp100 ribu. Jumlah itu hanya sekitar 40 persen-50 persen dari ketersediaan tahun lalu.
Di lain pihak, Perum Bulog juga belum memiliki kepastian angka impor daging, termasuk jadwal masuknya, meskipun pemerintah berjanji daging impor akan masuk pada April ini. Kondisi ini tercermin dari sejumlah distributor daging yang mengaku masih kebingungan serta belum mendapatkan kepastian jumlah pasokan dan harga.
"Ini juga menjadi dilematis, saat tidak ada kepastian, pemerintah harus secepatnya selesaikan ini, kepastian kapan masuk. Jadi harus sinkron, kami misalnya di feedlot karena keterbatasan impor, kami memobilisasi sapi lokal meskipun terbatas jumlahnya, tapi saat yang sama BUMN yang memiliki hak eksklusif untuk datangkan daging itu harus juga tepat waktu," ujarnya.