Senada, Pengamat Asuransi Odang Muchtar menyatakan PP Nomor 40 Tahun 2015 sudah menyimpang dari Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dalam uu sudah disebutkan bahwa dana JHT bisa cair setelah masa kepesertaan minimal 10 tahun. Tapi, dalam PP Nomor 40 Tahun 2015 diatur ketentuan bahwa peserta yang mengundurkan diri dari pekerjaannya atau terkena PHK bisa mencairkan JHT kapan saja.
"Harus dikembalikan fungsi JHT bukan untuk pesangon," kata Odang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lagi pula, sambung Odang, pemerintah kini sudah punya program tersendiri untuk pekerja yang terkena PHK berbentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Korban PHK bisa mendapatkan manfaat uang tunai, akses informasi, dan pelatihan kerja.
"Dalam UU Cipta Kerja ada program baru, JKP. Buruh selama enam bulan dapat tunjangan dari BPJS Ketenagakerjaan. Jadi jangan campur aduk jaminan sosial dengan pesangon, masing-masing sudah ada kavling nya," jelas Odang.
Di sisi lain, Odang menyatakan meski defisit, sejatinya peserta tak perlu resah dengan dana JHT BPJS Ketenagakerjaan. Pasalnya, arus kas ia pastikan masih aman.
"Orang terkena PHK berhak mencairkan JHT. Tadi saya juga perhatikan sejak pandemi jumlah PHK besar tapi jumlahnya 6 juta orang, masih jauh dari 18 juta peserta JHT," kata Odang.
Jadi, kalau pun seluruh korban PHK mengajukan pencairan JHT, maka dana yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan masih cukup. Lalu, jumlah peserta yang memasuki masa pensiun berusia 56 tahun juga belum banyak.
"Distribusi umur peserta umumnya di bawah 40 tahun artinya untuk orang mencapai 56 tahun sebagian besar masih 16 tahun lagi untuk timbul hak dapat JHT," terang Odang.
Selanjutnya, jumlah peserta yang meninggal dunia dan cacat total juga tak bayak. Dengan demikian, dana JHT masih cukup untuk saat ini.
Sementara, Timboel menyebut rasio klaim program JHT masih di bawah 60 persen. Itu berarti, klaim cukup dibayar dari iuran yang dibayarkan peserta.
"Misal masuk Rp100 triliun, maka klaim Rp60 triliun bisa ditangani," imbuh Timboel.
Ia menilai arus kas BPJS Ketenagakerjaan sejauh ini masih cukup baik. Kecuali, jika rasio klaim sudah mencapai 100 persen, artinya iuran yang masuk setara dengan pengajuan klaim peserta.
"Mengacu rasio klaim masih ada kemampuan karena rasio klaim di bawah 100 persen, kalau di atas 100 persen menakutkan karena iuran tidak cukup untuk bayar klaim," pungkas Timboel.
Sebagai informasi, total dana investasi dari program JHT sebesar Rp342,05 triliun per Februari 2021. Rata-rata jumlahnya naik 9,78 persen per tahun dalam lima tahun terakhir.
Namun, hasil investasi dari dana investasi JHT hanya Rp3,45 triliun per Februari 2021. Dalam lima tahun terakhir, hasil investasi JHT naik tipis 2,31 persen per tahun.
Secara keseluruhan, total dana investasi BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp489,89 triliun per Februari 2021. Sementara, hasil investasinya sebesar Rp5,12 triliun.
(agt)