Alasan Pemerintah Optimis Ekonomi Sentuh 5,3 Persen Pada 2021
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan alasan pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 4,3 persen sampai 5,3 persen pada tahun ini.
Pertama, penanganan pandemi covid-19 relatif membaik dari waktu ke waktu. Hal ini tercermin dari jumlah kasus harian covid-19 yang mulai menurun dari semula sempat mencetak rekor tertinggi 14 ribu kasus dalam sehari, kini berada di kisaran 5.000 kasus per hari.
Sementara, program vaksinasi terus dilakukan dengan jumlah suntikan mencapai 13,4 juta dosis per 6 April 2021. Hal ini membuat Indonesia berada di peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan suntikan vaksin terbanyak, meski bukan produsen vaksin.
"Indonesia cukup disiplin karena tidak ada kenaikan kasus, dari kasus per hari maupun konteks vaksinasi, sehingga kita optimis pada 2021 walaupun di tengah ketidakpastian, ekonomi bisa tumbuh," ungkap Febrio dalam acara Indonesia Macroeconomic Update 2021, Kamis (8/4).
Kedua, pemerintah tetap mengalokasikan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 yang cukup besar, yaitu Rp699,43 triliun. Jumlahnya naik 21 persen dari realisasi PEN 2020 sebesar Rp579,78 triliun atau setara 83,39 persen dari pagu Rp695,2 triliun pada tahun lalu.
"Insentif juga dilanjutkan, bahkan ditambahkan, ini untuk kita gunakan untuk mendorong konsumsi," jelasnya.
Kendati begitu, ia memastikan belanja yang 'jor-joran' ini tetap memperhatikan defisit APBN yang terjaga. Pemerintah tetap berkomitmen mengembalikan defisit anggaran sebesar 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023.
Lihat juga:Ahok Ketemu Gibran Bahas Penghapusan Premium |
"Tapi, performance fiskal kita sangat baik dibandingkan banyak negara di dunia," imbuhnya.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Hidayat Amir menambahkan keyakinan pemerintah menargetkan ekonomi di kisaran 5 persen berasal dari prospek pemulihan itu sendiri.
Misalnya, data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sudah mencapai level 53,2 pada Maret 2021.
Posisi PMI ini bahkan yang tertinggi sejak lima bulan terakhir. Hal ini menandakan roda industri sudah mulai bergerak lagi seperti level sebelum pandemi.
"Ini artinya bukan cuma indikator yang semu, tapi riil bergerak. Policy pemerintah dengan PEN dan APBN yang lebih besar akan mendorong konsumsi masyarakat," terang Amir pada kesempatan yang sama.
Tak cuma PMI, impor pun ikut meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini menandakan industri sudah mulai meningkatkan lagi produksinya yang menggunakan bahan baku dan bahan penolong impor.
"Jadi saya kira proyeksi 4,3 persen sampai 5,3 persen itu cukup fair, tidak terlalu optimis, tapi ada di tengah," jelasnya.
Sementara itu, Ekonom BCA David Sumual tetap mewanti-wanti pemerintah. Menurutnya, meski prospek ekonomi membaik di dunia, tetapi hal ini tidak serta merta akan menjadi keuntungan bagi Indonesia.
Pasalnya, beberapa indikator pemulihan yang ada di tingkat global justru bisa memberi ancaman bagi proses pemulihan ekonomi tanah air ke depan. David menyebut setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan.
"Memang kondisi saat ini salah satu indikasi pemulihan ekonomi nasional yang sudah terjadi dalam 2-3 kuartal terakhir, tetapi ada empat konsen dari ekonomi global yang perlu diperhatikan," kata David.
Pertama, kenaikan harga komoditas yang khususnya terjadi pada harga minyak mentah dunia. Memang, Indonesia bisa diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas, apalagi permintaan tengah meningkat.
Tapi, harga minyak yang naik justru bisa membebani APBN karena nilai anggaran subsidi bisa ikut membengkak tertekan kenaikan harga dan kurs rupiah yang melemah. "Ini akan pengaruhi APBN yang kaitannya ke subsidi BBM," jelasnya.
Lihat juga:Agar Lancar Berbenah Subsidi LPG 3 Kg |
Kedua, risiko pengetatan kebijakan moneter dari bank sentral AS, The Federal Reserve, sejalan dengan mulai pulihnya perekonomian negeri Paman Sam. Ketiga, ekspansi dari stimulus fiskal AS senilai US$1,9 triliun.
"Kedua hal ini membuat mereka pulih lebih cepat dan mendorong probabilitas kebijakan moneter AS karena sejauh ini pasar modal masih price in untuk kenaikan (tingkat suku bunga acuan The Fed) di kurang lebih 2023. Kebijakan negara-negara core, seperti AS, Eropa, dan Jepang akan mempengaruhi negara-negara emerging market dan akan berpengaruh ke arus dana domestik kita," katanya.
Keempat, vaksinasi di sejumlah negara. Beberapa negara ada yang sangat cepat, seperti Inggris, tapi ada juga yang tengah terganggu misalnya India karena kenaikan jumlah kasus harian mereka. Hal ini akan memberikan perbedaan kecepatan pemulihan dari global.