Dihubungi terpisah, Head of Undergraduate Program in PPM School of Management Aprihatiningrum Hidayati berpandangan peluang pemain asing untuk dapat ekspansi bisnis SPBU di Indonesia masih terbuka lebar.
Pasalnya, pertumbuhan volume kendaraan di Indonesia yang mencapai 5 persen per tahun tak dibarengi dengan jumlah SPBU yang memadai. Berdasarkan data BPH Migas, kata dia, perbandingan SPBU dengan kendaraan pribadi mencapai 1:40 ribu.
"Jadi kalau ada 40 ribu pengendara, itu hanya bisa dilayani 1 SPBU saja. Kalau dibandingkan negara-negara berkembang lainnya seperti Thailand (1:23 ribu) dan Malaysia (1:10 ribu) kita jauh," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ia juga melihat penggunaan BBM non subsidi dan lebih berkualitas terus mengalami tren peningkatan. Tahun 2018, misalnya, jumlah konsumsi BBM nonsubsidi di Indonesia sudah mencapai 42 persen.
Dari jumlah tersebut, pengguna BBM RON 90 mencapai 72 persen, RON 92 sebanyak 23 persen, RON 95+98+100 sebesar 2 persen, dan AGO mencapai 2 persen.
"Kebijakan BBM non subsidi itu ternyata masyarakat kita mulai patuh, di mana sebagian besar atau 42 persen, tetapi terus naik persentasenya, banyak menggunakan BBM non subsidi. Dan kalau dilihat faktanya juga semakin mendekati baik di mana yang RON 90 paling banyak dikonsumsi yaitu 72 persen," imbuhnya.
Terlebih, pengelola SPBU juga bisa mengandalkan bisnis non bahan bakar yang tak kalah menguntungkan, mulai dari coffee shop, mini market hingga jasa periklanan.
Dari data yang ia paparkan, rata-rata ada 2.500-5.000 kendaraan yang datang ke SPBU dalam sehari. Dari jumlah tersebut, 74 persen di antaranya mengaku tak hanya mengisi bahan bakar melainkan juga mengunjungi convenience store.
"Dan memang kebutuhan paling besar ternyata di minuman. Mereka menghabiskan konsumsi di minuman dengan basket size-nya sekitar Rp25.000 per orang. Bisa dibayangkan kalau 2.500 (kendaraan) yang dinaiki 2 orang kali Rp25.000 saja itu sudah Rp100 juta per hari. Jadi memang industri pendukung SPBU tidak hanya saja fuel tetapi juga nonfuel," tuturnya.
Namun, Aprihatiningrum juga memberi catatan bahwa skema kemitraan dalam pengelolaan SPBU yang ditawarkan pemain asing seperti Shell, AKR, BP (British Petroleum) hingga Vivo harus lebih menguntungkan ketimbang Pertamina.
Di Indonesia sendiri, ada tiga jenis skema kemitraan SPBU yakni Company Owned Company Operated (COCO), Company Owned Dealer Operated (CODO) dan Dealer Owned Dealer Operated (DODO).
COCO berarti SPBU di bawah penguasaan dan pengelolaan korporasi entah itu Pertamina, Shell, AKR dan lain-lain. CODO, berarti kepemilikan aset SPBU berada di tangan perusahaan, sedangkan operasionalnya dikelola oleh mitra entah itu individu atau perusahaan lain.
Sedangkan DODO, berarti aset SPBU 100 persen dikuasai dan dikelola mitra, sementara pihak Pertamina, Shell, AKR dan lain-lain akan memberikan dukungan pengembangan SDM hingga operasional agar bisnis berjalan optimal.
"Peluang kemitraan harus dicari yang paling the best yang memiliki reputasi baik sukses dari teknologinya maupun kualitas dari fuel-nya," pungkasnya.