Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini mengatakan pemerintah menggelontorkan lebih dari Rp67 triliun per tahun untuk menambal kerugian atas mahalnya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Anggaran tersebut berupa subsidi sebesar Rp50 triliun-Rp60 triliun per tahun dan kompensasi listrik sekitar Rp17 triliun per tahun karena tarif listrik tak naik sejak Januari 2017.
Tanpa subsidi dan kompensasi tersebut, menurut Zulkifli, PLN otomatis akan tekor mengingat BPP listrik lebih besar ketimbang harga jual ke pelanggan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Listrik PLN saat ini itu sebetulnya di bawah harga keekonomian, di bawah harga BPP. Kami harus berterima kasih pada pemerintah melalui APBN memberikan subsidi listrik sebesar Rp50 triliun-Rp60 triliun per tahun itu belum termasuk kompensasi karena automatic tarif adjustment yang belum diberlakukan sejak 1 Januari 2017 yang jumlahnya sekitar Rp17 triliun," ujarnya.
Zulkifli menyebut, misalnya, harga keekonomian tarif listrik dari seluruh jenis pembangkit di Indonesia seharusnya di kisaran Rp1.400 per kWh. Namun nyatanya, listrik tersebut dijual ke pelanggan dengan harga rata-rata Rp1.100 per kWh
"BPP PLN itu kalau di-mixed itu sekitar Rp1.400 per kWh sementara harga jual PLN itu hanya sekitar Rp1.100 per kWh. Kok bisa biayanya Rp1.400 dijual Rp1.100 per kWh? Selisih itu lah yang ditutup oleh subsidi maupun kompensasi yang berasal dari pemerintah," imbuhnya.
Dengan subsidi dan kompensasi listrik itu, lanjut Zulkifli, PLN bisa terus melakukan transformasi menuju energi bersih dengan membangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) meski harga listriknya lebih mahal.
Ia mencontohkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA) di Benowo, Surabaya, yang baru-baru ini diresmikan. Jika dilihat skala keekonomian, harga listrik pembangkit tersebut sebetulnya lebih mahal ketimbang PLTU Batu Bara.
Namun, karena harga listrik seluruh PLTU dibaur dengan formula tertentu menjadi satu harga, listrik batu bara yang lebih murah dapat mengkompensasi pembelian listrik PLTSA tersebut.
"PLTSA Benowo ini yang harus kami bayar sekitar Rp1.900 per kWh. Tapi ini kan di-mixed dengan PLT Batu Bara yang hanya di sekitaran Rp500/Rp600, ya, pembangkit PLTA dan lain-lain juga. Jadi kalau tadi PLTSA 13 koma sekian sen dolar, pembangkit lain kan hanya 6 sen, 7 sen sehingga PLN masih bisa menjalankan tugas menerangi Indonesia tidak hanya dengan pembangkit sampah," pungkasnya.