Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan belanja pemerintah untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) masih banyak mubazir dan belum optimal. Salah satunya, anggaran Rp20 triliun yang digelontorkan untuk program Kartu Prakerja.
Menurut Tauhid, program tersebut cenderung sia-sia sebab berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 51,3 persen peserta tak benar-benar memanfaatkan program itu untuk meningkatkan skill atau kemampuan.
Sementara yang bersungguh-sungguh meningkatkan keterampilan atau skill dalam program tersebut hanya sekitar 48,5 persen atau tak sampai setengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"51 persen ini, kan, besar sekali dari peserta, dan kalau kita lihat uang yang dihabiskan 51 persen dari Rp20 triliun kurang lebih hampir Rp10 triliun. Akhirnya anggarannya jadi mubazir. Memang larinya ke masyarakat, tapi mubazir. Itu yang disayangkan," ujarnya dalam webinar bertajuk 'PPN 15 Persen Perlukah di Masa Pandemi?', Selasa (11/5).
Ada pula program bantuan sosial lainnya seperti program Indonesia Pintar hingga Program Keluarga Harapan (PKH) yang kerap kali tidak tepat sasaran.
"Ditargetkan, kan, untuk penduduk berpengeluaran rendah 40 persen ke bawah. Tapi nyatanya berdasarkan Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2019, dan kami yakin tidak jauh berbeda dengan 2020 dan 2021, masih banyak penerima program yang tidak berhak," imbuhnya.
Lihat juga:Dana Abadi LPDP Tembus Rp70,11 T |
Ketidaktepatan sasaran tersebut menurutnya membuat konsumsi rumah tangga tidak meningkat secara optimal meski pemerintah mengguyurkan puluhan triliun untuk bansos.
"Ini akhirnya sayang. Uang itu tidak dibelanjakan tapi disimpan karena mereka kelompok menengah atas punya cadangan untuk konsumsi dan itu hanya menambah tabungan mereka," jelasnya.