Buruh Laporkan 2.265 Kasus Pelanggaran THR ke LBH
Posko pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mencatat 2.265 kasus yang dilaporkan buruh.
Mengutip paparan yang disampaikan perwakilan (FSBPI) Dian Septi, sebanyak 1.338 buruh dari tiga perusahaan di sektor manufaktur dan jasa pariwisata di Jakarta dan Kabupaten Semarang mengadukan bahwa pembayaran THR mereka dicicil.
Kemudian, enam buruh dari satu perusahaan di setor manufaktur tidak mendapat THR sama sekali. Lalu, 14 buruh sektor manufaktur di Jakarta tidak diberikan THR karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.
Lihat juga:Nasib Pekerja, Lebaran Duluan THR Belakangan |
Sedangkan, 907 buruh manufaktur dan transportasi di Jakarta tidak mendapat THR sama sekali.
Dian menerangkan pihaknya telah melaporkan hasil penemuan posko pengaduan tersebut kepada Kementerian Ketenagakerjaan, namun belum mendapat jawaban sampai saat ini.
Ia menilai hal ini membuktikan lemahnya penindakan negara terhadap perusahaan yang lalai membayarkan hak THR buruh.
"Setiap tahun Kemenaker juga bangun posko (pengaduan) THR. Tapi pelanggaran THR temuan di lapangan masih terjadi. Jadi, seolah-olah yang penting ada posko, ada pengaduan menjelang hari raya, tapi terjadi pembiaran," ungkapnya melalui konferensi video, Rabu (12/5).
FSBI sendiri juga melakukan survei terhadap 123 responden mengenai pemenuhan hak THR buruh di 50 perusahaan pada 19 sektor usaha, termasuk pekerja rumah tangga, di 22 kabupaten/kota yang digelar pada 29 April 2021.
Dian mengatakan survei tersebut mendapati 52 persen responden mengaku hak THR tidak dipenuhi sesuai dengan Permenaker Nomor 6 Tahun 2015.
Rinciannya, sebanyak 13,28 persen buruh mengatakan THR mereka dicicil, 15,4 persen mengatakan besaran THR dikurangi, 3,3 persen mengatakan THR dicicil dan besarannya dikurangi.
Lalu, sebanyak 2,4 persen hanya menerima THR berupa bingkisan, dan 17,1 persen tidak menerima THR.
Lihat juga:Berkah Parsel Lebaran Kini Mampir di Cikini |
Survei menemukan 30 persen dari responden yang mengaku hak THR mereka tidak dipenuhi sesuai aturan yang berlaku adalah perempuan dan 22 persen laki-laki. Sehingga, kata Dian, terdapat kecenderungan perempuan menjadi pihak yang lebih terdampak pelanggaran THR.
Sebanyak 93,75 persen pekerja yang mengalami pelanggaran hak THR menyatakan tidak pernah memberikan pesetujuan kepada perusahaan terkait pengurangan hak THR. 92,2 persen responden juga tidak mengetahui laporan keuangan perusahaan.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan dari KPBI Ilhamsyah mengungkap buruh di sektor transportasi merupakan salah satu yang paling umum mendapati pelanggaran THR.
Ia mengungkap di kalangan buruh transportasi, seperti sopir dan tenaga kerja bongkar muat, tidak ada yang namanya THR. Buruh transportasi umumnya hanya mendapatkan 'uang ketupat' setiap menjelang hari raya Idulfitri.
"Saya buruh di transportasi hanya dapat uang ketupat, berkisar Rp100 ribu sampai Rp250 ribu. Jadi tidak merasakan THR. Padahal bekerja bertahun-tahun, kontribusi besar pada distribusi barang, perekonomian kita," jelasnya.
Dalam kondisi seperti ini, lanjutnya, pemerintah belum memiliki sanksi tegas terhadap perusahaan atau pekerja yang gagal memenuhi hak THR buruh.
Selama ini, sanksi yang diatur terkait pelanggaran pemenuhan THR hanya sebatas sanksi administratif.
Meski begitu, Ilham mengatakan jarang ada perusahaan yang sampai dicabut izinnya karena tidak memberi THR.
"Sehingga tidak ada satu efek jera bagi perusahaan yang tidak memberikan THR. Sama saja menurut mereka beri THR atau tidak beri THR. Sehingga banyak perusahaan tidak memberikan THR," tambah dia.
Menurutnya hal ini tidak bisa dibiarkan. Ia mengingatkan ketika hari raya keagamaan, pengeluaran dan kebutuhan kebanyakan masyarakat akan meningkat drastis sehingga THR perlu dibayarkan.
Selain itu, ia juga menyoroti banyaknya perusahaan yang tidak dapat memenuhi bonus gaji kepada buruh. Sehingga sebagai gantinya, pemenuhan THR seharusnya bersifat wajib.