Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.375 per dolar AS di perdagangan pasar spot pada Kamis (20/5) sore. Posisi ini melemah 85 poin atau 0,59 persen dari Rp14.290 per dolar AS pada Rabu (19/5).
Sementara kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp14.396 per dolar AS atau melemah dari Rp14.313 per dolar AS pada Rabu kemarin.
Rupiah melemah bersama won Korea Selatan 0,61 persen, peso Filipina minus 0,13 persen, ringgit Malaysia minus 0,11 persen, dan yuan China minus 0,05 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, mata uang Asia lainnya justru berada di zona hijau. Yen Jepang menguat 0,26 persen, baht Thailand 0,11 persen, dolar Singapura 0,09 persen, rupee India 0,03 persen, dan dolar Hong Kong 0,03 persen.
Sedangkan mayoritas mata uang utama negara maju menguat dari dolar AS. Franc Swiss menguat 0,24 persen, dolar Australia 0,19 persen, euro Eropa 0,1 persen, dan rubel Rusia 0,08 persen.
Hanya poundsterling Inggris yang melemah 0,03 persen dan dolar Kanada minus 0,01 persen.
Analis sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai pelemahan rupiah terjadi karena berhembusnya wacana program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid II.
Saat ini, kabarnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berkirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Dalam RUU tersebut, kabarnya akan dibahas beberapa ketentuan jenis pajak hingga tax amnesty jilid II. Kabarnya, pemerintah ingin menginisiasi tax amnesty jilid II karena penerimaan pajak terus tertekan akibat dampak pandemi covid-19. Padahal, APBN butuh pemasukan untuk bisa menopang ekonomi masyarakat.
"Pengusaha melihat situasinya dibayangi ketidakpastian," ujar Ibrahim.
Selain itu, ada sentimen global, yakni pemulihan ekonomi di Amerika Serikat. Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve sempat memandang akan ada pengurangan laju pembelian aset di beberapa titik jika pemulihan ekonomi terus mendapatkan momentum.
"Hal itu mengejutkan investor mengingat Gubernur Fed Jerome Powell telah mengatakan bahwa belum waktunya untuk mulai membahas perubahan kebijakan apa pun," pungkasnya.