Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bakal memangkas jumlah komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dari lima menjadi hanya dua hingga tiga orang. Hal tersebut ia sampaikan menanggapi surat Anggota Dewan Komisaris Garuda, Peter Gontha, yang meminta gajinya ditangguhkan hingga rapat umum pemegang saham (RUPS).
Menurut Erick, pengurangan jumlah komisaris juga merupakan bagian dari efisiensi agar perusahaan dapat keluar dari masalah keuangan. Jika tak ada aral melintang, rencana itu bakal dieksekusi dalam dua pekan ke depan.
"Kami akan lakukan sesegera mungkin, kasih kami waktu dua minggu lah, ada RUPS-nya tapi, mesti berdasarkan RUPS, nanti kami kecilkan jumlah komisaris," ujarnya di Kementerian BUMN, Rabu (2/6) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Ekonom Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talatov menilai apa yang disampaikan Erick soal pengurangan jumlah komisaris sebenarnya hanya gertakan.
Tujuannya agar anggota dewan komisaris Garuda, termasuk Peter, memiliki sense of crisis dan tak hanya terkesan menyalahkan kementerian.
Pasalnya dalam surat tersebut, Peter menyampaikan bahwa keputusan yang diambil Kementerian BUMN secara sepihak tanpa koordinasi dan melibatkan dewan komisaris turut menyebabkan kondisi keuangan Garuda makin kritis.
"Bisa juga sindiran halus bahwa sense of crisis oleh internal Garuda baik komisaris maupun manajemen dirasa belum optimal. Makanya ketika sindiran dimunculkan oleh Pak Peter, direspons lagi lah oleh Pak Erick, oh ya sudah sekalian saja kurangi jumlah komisaris," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Lagi pula, menurut Abra, penyusutan jumlah komisaris tak akan berdampak signifikan terhadap pengurangan beban perusahaan.
Pasalnya, inefisiensi terbesar bukan berasal dari komponen pegawai atau sumber daya manusia (SDM), melainkan komponen sewa pesawat. Ini tercermin dari data Bloomberg (2019) yang mencatat rasio biaya sewa pesawat terhadap pendapatan Garuda Indonesia sebagai yang tertinggi di dunia, yakni mencapai 24,7 persen.
Padahal, mayoritas maskapai internasional lain berada di bawah 10 persen. "Di bawahnya (Garuda) ada AirAsia X Bhd, itu 19,7 persen. Lalu PAL Holdings Inc 11,8 persen. Tapi mayoritas maskapai global itu di bawah 10 persen," tuturnya.
Ada pula inefisiensi cukup besar pada biaya pemeliharaan dan perbaikan pesawat Garuda Indonesia di mana rasionya terhadap total beban usaha pada kuartal ketiga tahun lalu tercatat mencapai 15,04 persen, meningkat dari periode yang sama pada 2019 sebesar 11,98 persen.
"Perlu dievaluasi juga apa sih yang terjadi pada beban pemeliharaan dan perbaikan yang tidak efisien ini," jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Abra, strategi bisnis yang dijalankan Garuda Indonesia sejak tahun lalu juga kurang adaptif terhadap pandemi covid-19. Ia menyebut, misalnya, harga tiket maskapai pelat merah tersebut lebih mahal ketimbang kompetitornya di domestik.
"Penurunan biaya tiket rata-rata hanya sedikit sekali. Selama Januari-September 2020 rata-rata tarif (average fares) Garuda hanya turun 2,4 persen di pasar domestik, enggak mencerminkan kebijakan adaptif atau responsif terhadap kebutuhan konsumen di masa pandemi yang daya belinya masih tertekan," jelas Abra.
Imbasnya penumpang Garuda beralih menggunakan maskapai lain. Ini terlihat dari tingkat keterisian pesawat (seat load factor) Garuda yang hanya 31,8 persen selama Januari hingga Maret 2021, turun drastis dibanding periode sama tahun lalu sebesar 61,9 persen.
Sementara dari sisi pangsa pasar (market share) domestik, terjadi penurunan dari 43,3 persen pada 2019 menjadi 35 persen pada 2020.
"Itu artinya kan jadi kontradiktif dengan keinginan Pak Erick yang mewacanakan Garuda untuk fokus di pasar domestik," imbuhnya.
Perbaikan Internal
Berbeda dengan Abra, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai rencana pemangkasan jumlah komisaris patut diapresiasi karena menunjukkan keseriusan pemerintah tak hanya dalam menyelesaikan masalah keuangan Garuda, tapi juga memperbaiki internalnya.
Dengan memangkas jumlah dewan direksi, menurutnya, Erick sebenarnya juga tengah menegaskan bahwa pengurangan jumlah sumber daya manusia (SDM) demi efisiensi terjadi dari tingkat terbawah hingga level top management.
Lagi pula, kata Toto, perusahaan pelat merah tak memerlukan banyak komisaris hanya untuk mengawasi dan memonitor kinerja direksi. Terlebih, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dewan komisaris sudah dibantu oleh beberapa komite di bawahnya.
"Ada komite audit, ada komite pemantau risiko, ada komite remunerasi. Jadi kalau komite-komite ini diberdayakan dengan bagus harusnya juga komisaris bisa melaksanakan pengawasan pada kinerja direksi dengan efektif," ucapnya.
Toto justru berpandangan bahwa pemangkasan komisaris Garuda Indonesia juga dapat dilakukan di BUMN lain yang jumlah dewan komisarisnya terlalu gemuk atau hampir menyamai jumlah dewan direksinya.
"Ini momentum yang bagus juga untuk mulai memikirkan kembali kira-kira jumlah ideal dewan komisaris berapa sih yang bagus. Artinya tidak dalam konteks mengurangi jumlahnya sampai kecil sekali tetapi bagaimana dengan jumlah yang terbatas tapi kerjanya sebagai dewan komisaris bisa dijalankan dengan baik dan efektif," jelasnya.
Sebelumnyam Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan utang perseroan mencapai Rp70 triliun dan bertambah Rp1 triliun setiap bulannya. Tumpukan utang tersebut disebabkan pendapatan perusahaan tidak menutupi pengeluaran operasional, alias besar pasak daripada tiang.
Sebagai salah satu upaya menekan beban operasional, perseroan menawaran program pensiun dini yang bersifat sukarela dengan cara mendaftarkan diri bagi pekerja yang bersedia mulai dari 19 Mei hingga 19 Juni 2021. Selain itu, perusahaan juga menunda pembayaran gaji direksi dan komisaris.
[Gambas:Video CNN]