ANALISIS

Buka-Tutup Keran Investasi Miras Bukti Keraguan Jokowi

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Selasa, 08 Jun 2021 06:42 WIB
Pengamat menilai buka-tutup keran investasi miras melalui berbagai peraturan pemerintah menandakan keraguan kebijakan Pemerintahan Jokowi.
Pengamat menilai buka-tutup keran investasi miras melalui berbagai peraturan pemerintah menandakan keraguan kebijakan Pemerintahan Jokowi. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

Terlepas dari teknis kebijakan, Yusuf mendukung penutupan investasi miras karena tidak sesuai dengan karakteristik Indonesia. Dari indikator konsumsi, ia menuturkan angkanya masih rendah ketimbang negara sekelas lainnya (peer country).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata konsumsi minol penduduk usia di atas 15 tahun hanya 0,39 liter per kapita per tahun di 2020 lalu. Terdiri dari, konsumsi minol di pedesaan 0,61 liter per kapita per tahun dan perkotaan 0,22 liter per kapita per tahun.

"Proporsi konsumsi minuman beralkohol di Indonesia relatif kecil, sehingga kalau bicara pasar tidak prospektif dibandingkan negara lain," tuturnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konsumsi minol yang rendah membuat sumbangan penerimaan cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) tidak signifikan.

Data Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai MMEA per 30 April 2021 sebesar Rp1,74 triliun, tumbuh 0,54 persen (yoy). Relaksasi pembukaan tempat wisata membuat kinerja penerimaan cukai MMEA mulai membaik.

Jumlah tersebut hanya mewakili 2,89 persen dari total penerimaan cukai per 30 April 2021 yang mencapai Rp60,05 triliun. Sementara itu, mayoritas cukai disumbang oleh cukai hasil tembakau (HT) sebesar Rp31,2 triliun.

"Cukai minol itu bukan penyumbang utama, penerimaan cukai itu terbesar dari rokok. Jadi, kita tidak bisa melihat cukai minol sebagai potensi yang bisa meningkatkan penerimaan negara, tetapi bagaimana cukai bisa membatasi produk yang menyebabkan eksternalitas negatif, salah satunya alkohol," jelasnya.  

Belum lagi, ada penolakan dari perspektif sosial, budaya, dan religi yang lebih sensitif ketimbang faktor ekonomi. Tiga faktor terakhir tersebut, justru lebih bertaji membuat Jokowi membalikkan arah pembukaan investasi industri miras menjadi tertutup.

Sepakat, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memandang keputusan pemerintah menutup investasi industri miras sudah tepat. Pertimbangannya, ia khawatir pemerintah justru kewalahan mengawasi peredaran dan pertambahan miras dalam negeri.

"Masalahnya kita lebih sulit mengontrol peredarannya. Dengan demikian, bisa membuat efek negatif besar tidak hanya ekonomi tapi sosial," ucapnya.

Selain itu, ia mengatakan sumbangan cukai minol kepada perekonomian secara nasional tidak signifikan. Menurutnya, kontribusi signifikan cukai miras hanya ditemukan pada sejumlah daerah, khususnya daerah pariwisata seperti Bali.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengungkapkan penerimaan cukai minol di Provinsi Bali sebesar Rp27 miliar pada Januari 2021. Kontribusinya turun drastis minus 95,98 persen dibandingkan posisi Desember 2020 yakni Rp673,12 miliar karena pandemi covid-19 sehingga jumlah wisatawan merosot tajam.

"Kalau secara nasional kecil, tapi beberapa daerah produsen atau tempat tertentu seperti pariwisata cukup signifikan. Tapi, itu jauh lebih terkontrol peredarannya, misalnya penggunaannya hanya pada kalangan tertentu dan tidak dijual bebas," terang dia.

Meski sepakat dengan keputusan pemerintah menutup investasi miras, namun ia menyayangkan proses pengambilan kebijakan tersebut. Menurutnya, kebijakan yang berdampak luas bagi warga hendaknya diambil setelah mendengarkan masukan berbagai kelompok dan masyarakat, bukan sebaliknya. "Dari awal kalau sudah merugikan seharusnya tidak usah dibuka," tuturnya.

Lewat aturan baru, Jokowi masih membuka investasi pada perdagangan miras, namun dengan syarat tertentu. Ketentuan ini tidak berubah dari Perpres Nomor 10 Tahun 2021.

"Bidang usaha dengan persyaratan penanaman modal lainnya meliputi perdagangan besar minuman keras/beralkohol (importir, distributor, dan sub distributor) (KBLI 46333), perdagangan eceran minuman keras atau beralkohol (KBLI 47221), dan perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau beralkohol (KBLI 47826)," bunyi pasal 6 ayat 3a Perpres Nomor 49 Tahun 2021.

(bir)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER