Sebelum terjadi peningkatan kasus Covid-19 dan penetapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3-20 Juli 2021 di Jawa dan Bali dimulai, perekonomian Indonesia disebut mulai menunjukkan sinyal pemulihan.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, sinyal tersebut antara lain berupa PMI Manufaktur Indonesia pada Juni 2021 yang masih stabil pada tahap ekspansif (53,5) dibandingkan pada Juni 2020 yang turun drastis hingga 39,1.
Sinyal pemulihan berikutnya termasuk Indeks Keyakinan Konsumen sebesar 104,4 pada Mei 2021 menjadi yang tertinggi sejak pandemi seiring pertumbuhan penjualan ritel dan peningkatan aktivitas spending berdasar data Google Spending and Mobility, serta pertumbuhan penjualan mobil ritel yang mencapai 275,7 persen year-on-year (yoy) pada Mei 2021, sekalipun angka itu masih lebih rendah dibandingkan periode April 2021.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peningkatan ekspor dan impor dengan surplus neraca perdagangan Mei 2021 sebesar US$2,36 miliar, yang didorong rebound permintaan global dan kenaikan harga komoditas, sehingga berpotensi menggerakkan pemulihan ekonomi," kata Wimboh dalam webinar Mid Year Economic Outlook 2021, Selasa (6/7).
Wimboh menjelaskan, meski aspek kecukupan permodalan dan likuiditas terbilang stabil secara umum, ke depannya fungsi intermediasi berpotensi kembali mengalami tekanan seiring penerapan PPKM Darurat.
Bersama pemerintah dan Bank Indonesia, OJK mengambil langkah cepat melalui berbagai kebijakan dan instrumen guna meminimalkan dampak pandemi terhadap perekonomian dan sektor keuangan. Dari sisi supply, kebijakan stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) dilanjutkan dengan mengalokasikan anggaran PEN 2021 yang sebesar Rp699,4 triliun. Pada 2020, alokasi anggaran PEN adalah sebesar Rp695,2 triliun.
Selain itu, dilakukan kebijakan moneter juga akomodatif melalui kebijakan suku bunga acuan yang rendah sebesar 3,5 persen, serta kebijakan restrukturisasi kredit yang diperpanjang hingga Maret 2022 untuk membantu pelaku usaha bertahan dan dapat terus melanjutkan usaha.
"Kami memantau perkembangan situasi saat ini. Namun, sektor keuangan masih optimis dengan menargetkan outlook positif pada beberapa indikator utama," lanjutnya.
Indikator utama tersebut meliputi kredit yang diperkirakan tetap tumbuh pada kisaran 6%±1% yoy (RBB) pada 2021 seiring proyeksi pemulihan ekonomi nasional; pertumbuhan Dana Pihak Ketiga yang diperkirakan akan tetap pada rentang 11%±1% yoy di 2021 seiring peningkatan aktivitas ekonomi, belanja masyarakat dan investasi secara bertahap; piutang pembiayaan yang diperkirakan tetap terkontraksi di level -1% sampai dengan -5% (yoy), khususnya karena maraknya pembelian kendaraan bermotor secara tunai; dan penghimpunan dana di pasar modal pada 2021 yang diperkirakan tetap meningkat pada kisaran Rp150 sampai Rp180 triliun.
Untuk mempertahankan momentum pemulihan ekonomi nasional dan stabilitas sistem keuangan (SSK) saat ini, Wimboh menyebut OJK telah mempersiapkan beberapa kebijakan strategis. Pertama, mengawal pelaksanaan PPKM Darurat khususnya yang terkait peran sektor jasa keuangan sebagai sektor esensial.
"Operasi terbatas SJK dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat serta memaksimalkan teknologi online atau digital, pegawai SJK (sektor jasa keuangan) yang melakukan work from home (WFH) diminta tetap tinggal di rumah dan menghindari mobilitas yang tidak perlu, dan membuka jalur komunikasi dengan nasabah atau debitur, khususnya pada sektor-sektor yang terdampak kebijakan PPKM Darurat," papar Wimboh.
Kedua, Wimboh menyatakan akan mempercepat implementasi program vaksinasi, mencakup vaksinasi massal yang menyasar pelaku SJK dan masyarakat sampai Juli 2021 dengan target minimal 335 ribu orang, serta mendorong pendirian sentra vaksinasi oleh lembaga keuangan untuk vaksinasi pegawai dan konsumen, juga mempercepat vaksinasi pelaku SJK di daerah.
Ketiga, percepatan belanja pemerintah pusat dan daerah sebagai kebijakan dari sisi fiskal untuk mempertahankan demand dan tingkat konsumsi masyarakat di tengah disparitas pemulihan sektoral. Keempat, akselerasi hilirisasi ekonomi dan keuangan digital dengan mewaspadai cyber risk.
Kelima, meningkatkan penetrasi layanan keuangan dan pendalaman pasar keuangan untuk menjaga stabilitas secara berkelanjutan. Menurut Wimboh, hal ini perlu dilakukan karena rasio aset IJK terhadap PDB dan rasio kredit terhadap PDB Indonesia yang masih rendah dibandingkan negara lain.
Terakhir, mendorong berkembangnya sustainable finance untuk membiayai sustainable economic recovery dan memitigasi climate-related risk yang diwujudkan melalui inisiatif pengembangan taksonomi hijau dengan tujuan mengklasifikasikan aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan di Indonesia; pengembangan kerangka manajemen risiko untuk industri dan pedoman pengawasan berbasis risiko bagi pengawas untuk menerapkan climate-related financial risk; inovasi produk dan layanan keuangan berkelanjutan oleh lembaga jasa keuangan; serta meningkatkan awareness dan capacity building untuk seluruh pemangku kepentingan.
(rea)