Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah pemerintah daerah (pemda) mengungkap berbagai alasan mengapa realisasi belanja penanganan dampak pandemi covid-19 masih lamban. Alasannya mulai dari sumber anggaran hingga teknis administrasi penggunaan dana.
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah mengatakan alasan utama karena pemda perlu mencari dulu sumber anggaran yang bisa digunakan dari hasil realokasi dan refocusing belanja. Kendala ini terjadi untuk penyediaan anggaran penanganan covid-19 berupa pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan (nakes).
"Untuk nakes ini misalnya sekarang kami harus cari sumber pendanaan baru melalui kegiatan yang tidak diadakan tahun ini, jadi kami alihkan karena harus cairkan sampai Rp14 miliar," ungkap Mahyeldi saat berdialog di CNN Indonesia TV, Selasa (27/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan lain karena penyaluran terkendala kualitas sumber daya manusia (SDM), misalnya untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) ke desa. Selain itu, juga ada faktor pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat, termasuk bagi petugas pelaksana.
"Untuk penyaluran anggaran ke desa ini kita sudah 40 persen, ini memang ada keterlambatan karena masalah SDM di desa karena memang itu butuh pembinaan. Ya mudah-mudahan ke depan ini akan meningkat," katanya.
Sementara Wakil Gubernur Jawa Barat UU Ruzhanul Ulum mengungkapkan alasan lain, yaitu pemda ingin penggunaan anggaran tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian mengingat dana ini merupakan uang rakyat yang pertanggungjawabannya ada di pemda.
Kendala lain, kata Uu, juga berasal dari penyesuaian sistem pelaporan keuangan dari daerah ke pusat. Maka dari itu, berbagai urusan pencatatan administrasi dan input data ke sistem harus benar-benar dipastikan benar.
"Kami tetap harus ada unsur kehati-hatian karena ini uang negara yang harus dipertanggungjawabkan, bukan uang kakek nenek kita. Soal pencairan juga, ini supaya akhir tahun tidak ada SPJ yang terlewat dari bulan-bulan sebelumnya dan di akhir tahun semua beres," ujar Uu.
Selain itu, alasan lain adalah karena jadwal kerja pegawai pemda sempat terganggu dengan sistem kerja dari rumah (work from home/WFH). "Ya ini karena kesibukan kita saja juga, karena di sini yang ngantor tidak semua masuk, hanya sekian persen. Tapi ini kendala yang lama dan akan diantisipasi," imbuhnya.
Di sisi lain, Uu meminta bila ada keterlambatan penggunaan belanja dari pemda, ia ingin agar hal ini tidak diekspos besar-besaran oleh pemerintah pusat di media. Menurutnya, lebih baik langsung diberitahu saja ke pemda masing-masing.
"Kami mohon kalau ada kekurangan jangan di media, padahal bukan hanya (Pemprov) Jabar saja, tapi kenapa seolah-olah Jabar yang jadi fokus pembicaraan. Seolah-olah kami salah dan lemah, padahal kita juga manusia, kesempurnaan milik Allah. Tapi ya kami anggap ini pecutan untuk kami," ucapnya.
Cek respons Kementerian Dalam Negeri dan pengamat pada halaman berikutnya.
Terkait berbagai alasan ini, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardhian Noervianto mengatakan pemerintah pusat sejatinya sudah memberikan relaksasi kebijakan agar pemda tetap bisa mempercepat realisasi belanja mereka.
Salah satunya diberikan Kementerian Kesehatan di mana pencairan dana insentif nakes bisa dilakukan segera sebelum proses input data ke sistem selesai.
"Tapi yang kami tangkap di lapangan ini banyak pembayaran insentif nakes ini mereka sibuk input data dulu ke sistem, padahal Kemenkes sebenarnya bolehkan bayar dulu baru input ke sistem. Jadi harusnya sudah tidak ada yang mengganjal karena sudah ada relaksasi kebijakan," jelas Ardhian.
Lebih lanjut, Ardhian turut menjawab soal perbedaan data realisasi belanja penanganan covid-19 pemda di pusat dengan klaim di daerah. Sebab, hal ini sempat menimbulkan protes dari Pemprov Jawa Tengah yang disebut baru merealisasikan belanja senilai Rp164,62 miliar atau 0,15 persen dari pagu, padahal pemda mengklaim realisasinya sudah 19 persen dari pagu.
"Untuk Jateng ini ternyata belum di-update data barunya, jadi hari ini mereka sudah 19 persen. Jadi kami berharap di tengah kesibukan penanganan covid ini, pemda bisa segera update data, sehingga bisa jadi kebijakan kami ke depan juga. Capaiannya agar segera di-report ke pusat," tuturnya.
Sementara untuk realisasi belanja penanganan covid-19 per 27 Juli 2021, Ardhian mencatat realisasinya sudah naik dari sekitar 29 persen menjadi 43 persen dari pagu mencapai Rp19,8 triliun. Artinya, realisasi sudah berkisar Rp8,51 triliun.
"Hari ini sudah naik jadi 43 persen. Jadi teguran Pak Menteri Dalam Negeri sudah bisa meningkatkan realisasi. Kami minta pemda juga genjot penyaluran lagi," ungkapnya.
Masalah Klasik
Sementara Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai berbagai alasan pemda lamban membelanjakan dana penanganan covid-19 merupakan masalah klasik.
"Ini sudah hampir dua tahun, jadi seharusnya pemda punya pengalaman dari tahun sebelumnya untuk kelola anggaan. Ini kelemahan utamanya, tidak belajar dari pengalaman. Kerja pemda ini cukup memprihatinkan, kurang gercep (gerak cepat)," kata Misbah.
Misbah mengingatkan kondisi realokasi dan refocusing anggaran sudah terjadi sejak tahun lalu ketika pandemi covid-19 mewabah di Indonesia.Selain itu, pemerintah pusat juga sudah mentransfer dana ke daerah.
"Tapi dananya justru masih mengendap Rp190 triliun untuk seluruh daerah di Indonesia, baik provinsi, kabupaten/kota di bank. Artinya, mekanismenya masih pakai pola lama yang ke depankan serapan anggaran di akhir tahun saja," terangnya.
Untuk itu, menurutnya, perlu teguran yang lebih keras. Begitu juga dari sisi kebijakan, misalnya dengan memasang target berapa kira-kira seharusnya realisasi belanja penanganan covid-19 oleh pemda pada masing-masing kuartal atau semester.
"Mungkin perlu regulasi batas serapan pemda per semester. Ini yang perlu dievaluasi karena menjadi perhatian bahwa pemda harus genjot serapan anggaran," pungkasnya.
[Gambas:Video CNN]