Kebijakan menarik rem lebih keras agar penularan Covid-19 lebih terkendali telah diambil pemerintah. Meski dinilai amat terlambat, kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat, dan kemudian berubah menjadi PPKM Level 4, diapresiasi sejumlah pihak.
Berlaku sejak 3 Juli lalu, sampai akan berakhir 2 Agustus nanti, kebijakan ini belum bisa disebut efektif. Mobilitas masyarakat masih cukup tinggi. Aturan yang lebih ketat, penyekatan titik-titik mobilitas warga, dan penegakan hukum di lapangan belum mampu menekan pergerakan warga signifikan.
Membatasi pergerakan warga yang harus keluar rumah hanya untuk sesuap nasi agar dia dan keluarganya tidak mati tentu tidak mudah. Mereka dihadapkan pada pilihan dilematis: keluar rumah tertular Covid-19 dan berpeluang mati, atau bertahan di rumah lalu kelaparan dan meninggal juga. Dua-duanya berisiko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seharusnya, masyarakat tidak memilih dan harus mematuhi aturan yang digariskan oleh pemerintah. Masalahnya, pemerintah tidak konsisten dan tampak mengakali hukum.
Menurut Pasal 55 Ayat 1 UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, selama masa karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan ternak di wilayah karantina jadi tanggung jawab pemerintah pusat.
PPKM Darurat atau PPKM Level 4 pada dasarnya adalah karantina wilayah. Akan tetapi, saat menetapkan kebijakan tersebut, pemerintah tidak merujuk UU 6/2018
Sebaliknya, saat hendak mendisiplinkan masyarakat agar mematuhi PPKM darurat pemerintah merujuk UU 6/2018. Di sini pemerintah bermain-main hukum: memilih yang menguntungkan dan membuang jauh-jauh yang menuntut tanggung jawab.
Adalah benar pemerintah telah menambah anggaran bantuan sosial (bansos) pada 2021, dari semula Rp153,86 triliun menjadi Rp187,84 triliun. Secara total, pemerintah juga menambah alokasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN): dari Rp 699,43 triliun jadi Rp744,75 triliun.
Selain perlindungan sosial, penambahan anggaran terbesar terjadi pada serta sektor kesehatan: semula Rp193,93 triliun menjadi Rp214,95 triliun. Namun, untuk kondisi darurat, kenaikan anggaran ini dinilai belum memadai.
Untuk jaring pengaman sosial, skemanya tak jauh berbeda dari tahun lalu. Selain Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar 10 juta keluarga dengan total anggaran Rp28,31 triliun, program mengandalkan Kartu Sembako (senilai Rp200 ribu per keluarga per bulan untuk 18,8 juta keluarga penerima manfaat atau KPM) dengan total anggaran Rp49,89 triliun, dan bantuan sosial tunai (BST) 10 juta keluarga plus tambahan 5,9 juta keluarga baru senilai Rp17,46 triliun.
Pemerintah menambah bantuan Program Sembako dua bulan dan memberi tambahan 10 kg beras untuk PKH dan BST. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa Rp 28,8 triliun serta Kartu Prakerja dan subsidi upah Rp 30 triliun.
Jika disimak, skema jaringan pengaman sosial masih berkutat pada PKH, Kartu Sembako, BST, BLT Desa, Kartu Prakerja dan subsidi upah, bantuan kuota internet untuk siswa dan tenaga didik, dan diskon listrik bagi rumah tangga berlistrik 450 VA-900 VA. Belum ada terobosan baru atau perbaikan skema bansos untuk merespons kondisi darurat.
Padahal, pekerja informal yang mayoritas di negeri ini usahanya terus berguguran. Jumlah pekerja informal mencapai 78,14 juta orang pada Februari 2021 (BPS). Mereka ini mengandalkan pemasukan harian di luar keluar rumah tapi terkendala pembatasan kegiatan di masa PPKM Level 3-4.
Lebih dari itu, dihadapkan pada krisis yang kian dalam, bantuan sosial perlu lebih masif, terutama untuk menyasar 40% penduduk yang paling miskin dan rentan/hampir miskin. Jumlah mereka, menurut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, mencapai 96,8 juta jiwa.
Mereka inilah yang paling terpukul oleh kebijakan pembatasan mobilitas. Idealnya, jaring pengaman sosial menyasar mereka agar PPKM darurat efektif. Anggaran memang terbatas. Akan tetapi, dalam situasi krisis kesehatan seperti saat ini, menunda program yang kurang urgen, seperti infrastruktur, mendesak ditempuh.
Menjaga asupan pangan yang cukup dan bergizi adalah modal utama menjaga imunitas untuk melawan Covid-19. Pangan adalah kebutuhan hakiki yang dibutuhkan manusia, lebih-lebih saat pandemi.
Saat situasi normal, mengikuti piramida Maslow, manusia mengejar puncak piramida: aktualisasi diri dan esteem. Kini, tatkala pandemi, manusia menggeser kebutuhan ke dasar piramida: makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga.
Terkait itu, bansos dalam bentuk tunai kemudian ditukarkan pangan jadi penting.
Saat ini di gudang Bulog ada 1,4 juta ton beras, sebagian di antaranya beras impor 2018 dan sisa pengadaan domestik 2018 dan 2019. Beras ini potensial turun mutu jika tidak segera disalurkan.
Tambahan 10 kg beras untuk PKH dan BST membuat 200 ribu ton beras stok Bulog bisa keluar. Selama ini beras itu lambat keluar karena outlet penyaluran pasti beras di hilir sudah tidak ada lagi sejak Rastra diubah jadi Bantuan Pangan Non-tunai yang kemudian jadi Program Sembako.
Sebagai pengganti, disediakan outlet operasi pasar sepanjang tahun, yang selain tak pasti juga tak dikenal dalam teori.
Karena pandemi belum jelas kapan mencapai puncak, ada baiknya pemerintah menambah penugasan kepada Bulog untuk menyalurkan berasnya buat bansos. Bagai mendayung dua-tiga pulau terlampau, langkah ini selain bakal meringankan derita warga juga menggairahkan pasar gabah/beras yang lesu saat ini.
Pasar gabah/beras yang lesu itu tecermin dari harga gabah yang terus menurun. Kondisi ini memukul petani. Penambahan penugasan penyaluran beras oleh Bulog untuk bansos membuat beras yang menumpuk di gudang keluar dan digantikan beras baru lewat serapan produksi petani domestik.
Kita tahu beras adalah pangan pokok semua perut warga. Partisipasi konsumsi beras oleh warga merata di seantero negeri.
Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, beras mendominasi: rerata 24% dari total pengeluaran. Ketika kebutuhan beras warga terpenuhi, secara teoritis akan membuat harga stabil.
Hal ini memberi peluang bagi Bulog untuk memperbesar pengadaan dari produksi dalam negeri. Membaiknya pengadaan beras dari produksi domestik bakal memperkuat cadangan beras pemerintah. Langkah ini amat penting sebagai antisipasi stok pada saat paceklik: Oktober 2020 - Februari 2022.