Pengamat Ungkap PR Panjang di RUU EBT
Draf Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang ditargetkan rampung pada kuartal terakhir pada tahun ini dinilai masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebutkan bahwa draf RUU EBT memiliki sejumlah poin kebijakan yang positif untuk mendukung perkembangan energi terbarukan.
Namun demikian, lanjutnya, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian para pembuat kebijakan.
"Beberapa poin positif di draf RUU EBT di antaranya terkait dengan renewable portofolio standard, kemudian ada yang terkait dengan insentif fiskal, pajak, finansial, dan lain-lain, serta insentif dengan feed-in tariff," katanya, Senin (9/8) petang.
Feed in tariff merupakan skema perhitungan harga EBT berdasarkan biaya produksi.
Dia menjelaskan ketentuan berupa renewable portofolio standard menunjukkan adanya ada kewajiban untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah ke implementasi energi terbarukan, sehingga dapat diturunkan ke pemerintah daerah.
"Karena kalau sudah ada ini, artinya semua harus melakukan upaya untuk memenuhi itu. Bisa diturunkan ke pemerintah daerah, di rencana umum energi di daerah," katanya.
Terkait dengan feed-in tariff, lanjutnya, kebijakan tersebut dinilai menjadi salah satu yang paling efektif dalam mendorong percepatan kenaikan kapasitas energi terbarukan di sejumlah negara di dunia.
Hanya saja, dia mengakui bahwa ada persoalan yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan feed-in tariff yang diungkap pada RUU EBT. Feed-in tariff memberikan tarif premium kepada pengembang energi terbarukan, sehingga ada biaya-biaya yang perlu dibayar.
Jika mengacu isi draf RUU EBT, biaya-biaya yang muncul melalui skema feed-in tariff tersebut berpotensi dibebankan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau menjadi tanggungan pemerintah melalui APBN.
Padahal, ujar Fabby, beban biaya listrik tersebut dapat dilimpahkan secara langsung kepada pelanggan karena perbedaan biayanya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan beban biaya listrik yang dibayar oleh pelanggan saat ini.
"Feed-in tariff itu bagus. Hanya menurut saya, kalau memang feed-in tariff itu dimasukkan ke dalam RUU, sedapat mungkin jangan menjadi beban PLN, tetapi di-pass through pelanggan. Sebenarnya enggak terlalu besar juga nilainya. Mungkin hanya beberapa rupiah saja. Kalau misalnya listrik Anda naik Rp10 per Kwh atau Rp20 per kWh kan enggak terlalu besar juga kenaikannya. Bisa ditanggung pelanggan. Jadi tidak menjadi beban subsidi pemerintah," katanya.
Pembelian Wajib Listrik oleh PLN
PLN mendapatkan beban atau tanggung jawab untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh energi baru dan terbarukan.
Jika mengacu Pasal 24, Pemerintah Pusat dapat menugaskan PLN atau badan usaha milik swasta untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi baru. Pemerintah Pusat juga dapat menugaskan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari Energi Baru.
Khusus terkait dengan energi terbarukan, PLN berkewajiban membeli tenaga listrik yang dihasilkan. Pemerintah Pusat juga dapat menugaskan badan usaha milik swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan.
Begitu juga dengan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta yang dapat ditugaskan untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari energi terbarukan.
Pasal 50 draft RUU EBT yang dirilis pada Januari 2021 menyebutkan bahwa harga energi baru ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha. Begitu pula dengan harga energi terbarukan.
Selanjutnya, pasal 51 menyebutkan bahwa penetapan harga jual listrik yang bersumber dari energi terbarukan tersebut berupa tarif masukan berdasarkan jenis, karakteristik, teknologi, lokasi, dan/atau kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan, harga indeks pasar bahan bakar nabati, dan/atau mekanisme lelang terbalik.
Adapun, harga energi terbarukan berupa tarif masukan tersebut ditetapkan untuk jangka waktu tertentu.
Jika harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau badan usaha tersebut.
Soal Harga yang lebih mahal di halaman selanjutnya ...
Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan