HUT RI KE-76

Merdeka 76 Tahun di Atas Tumpukan Utang Rp6.500 T

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Jumat, 13 Agu 2021 11:16 WIB
Indonesia sudah merdeka 76 tahun. Meskipun demikian, Indonesia sampai saat ini masih 'terjajah' utang sekitar Rp6.500 triliun.
Indonesia sudah merdeka 76 tahun. Meskipun demikian, Indonesia sampai saat ini masih 'terjajah' utang sekitar Rp6.500 triliun. (Arsip Kementerian Sekretariat Negara).

Di sisi lain, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat posisi utang Indonesia saat ini masih aman. Pasalnya, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60 persen.

"Dalam konteks itu, ruang masih cukup terbuka (untuk berutang). Utang masih manageable," kata Fithra.

Ia menjelaskan pemerintah harus menopang perekonomian jangka pendek yang 'hancur' akibat pandemi covid-19. Di sini, pemerintah perlu menggelontorkan berbagai stimulus agar masyarakat dan sektor usaha bertahan di tengah pandemi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah mengalokasikan dana untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Rinciannya, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp695 triliun untuk PEN 2020 dan Rp744,75 triliun untuk PEN 2021. Tak ayal, jumlah utang melonjak dari sekitar Rp4.000 triliun sebelum pandemi menjadi lebih dari Rp6.000 triliun setelah pandemi.

"Kalau dibandingkan dengan negara lain, stimulus fiskal Indonesia masih kecil. Dalam konteks itu, harusnya masih bisa ditambah lagi meski konsekuensinya tambah utang, tapi masih manageable," jelas Fithra.

Fithra berpendapat kontraksi ekonomi akan lebih dalam jika pemerintah tak menggelontorkan banyak stimulus kepada dunia usaha dan masyarakat yang terdampak pandemi covid-19. Dari stimulus itu, setidaknya masih ada kegiatan ekonomi di masyarakat kelas menengah bawah.

Sejumlah dunia usaha masih bisa mempertahankan bisnisnya, sehingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa ditekan. Alhasil, karyawan masih mendapatkan gaji dan bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, masyarakat yang mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah juga bisa menutupi kebutuhan di dapur sehari-hari. Dengan demikian, kegiatan ekonomi masih berjalan meski tak sekencang sebelum pandemi covid-19.

"Jadi utang naik tinggi wajar, karena pemerintah butuh dorongan untuk menyalurkan stimulus fiskal. Ini langkah yang harus diambil untuk jangka pendek," tegas Fithra.

Hal yang terpenting saat ini, sambung Fithra, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan ekonomi jangka pendek. Tak masalah jika pemerintah terus berutang, asalkan untuk penanganan pandemi covid-19.

"Kalau ekonomi belum pulih, siapa yang bisa menyangga ekonomi? Ketika krisis yang diharapkan pasti pemerintah," terang Fithra.

Namun, ketika ekonomi mulai pulih, penularan covid-19 mulai berada dalam tren penurunan dan stabil, maka pemerintah wajib mengurangi stimulus kepada dunia usaha dan masyarakat secara bertahap. Hal ini akan membuat dana yang dibutuhkan pemerintah berkurang, sehingga utang bisa ditekan.

"Industri atau orang kaya yang selama ini menikmati insentif juga jangan lupa give back, dalam hal ini harus dipajaki supaya keuangan negara bisa kembali ke level fiskal awal, sebelum pandemi," jelas Fithra.

Ia juga mengingatkan pemerintah agar tak lupa menurunkan defisit APBN ketika ekonomi mulai stabil. Caranya dengan menaikkan penerimaan.

Menurut Fithra, pemerintah bisa menggenjot penerimaan negara dengan menaikkan tarif pajak kepada mereka menikmati insentif fiskal selama pandemi covid-19. Hal ini sebenarnya sudah lumrah terjadi di banyak negara.

Pemerintah umumnya akan menaikkan pajak setelah menggelontorkan banyak insentif kepada wajib pajak (WP). Pasalnya, pemerintah juga harus menjaga agar keuangan negara tetap sehat dalam jangka panjang.

"Dengan menaikkan pajak itu fiskal akan lebih mandiri dan pada akhirnya utang bisa berkurang secara bertahap," pungkas Fithra.

Sebagai informasi, defisit APBN mencapai Rp219 triliun atau 1,32 persen terhadap PDB per akhir Mei 2021. Angkanya melebar dari periode yang sama tahun lalu, yakni Rp179,6 triliun.

Realisasi defisit APBN ini melebar dari posisi April 2021 lalu yang sebesar Rp138,1 triliun. Saat itu, angka defisit masih setara 0,83 persen dari PDB nasional.

Defisit APBN terjadi lantaran jumlah belanja jauh lebih tinggi dari penerimaan negara. Tercatat, penerimaan negara hanya Rp726 triliun per Mei 2021.

Penerimaan itu terdiri dari perpajakan yang sekitar Rp500 triliun dan PNBP Rp167 triliun. Sementara, belanja negara mencapai Rp945 triliun.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan defisit APBN diperkirakan masih akan berada di atas 3 persen pada 2022 mengingat belanja pemerintah untuk perlindungan sosial (perlinsos) masih cukup besar.

"Defisit kita meskipun secara bertahap, kami kurangi tapi masih di atas 3 persen dan itu akan menimbulkan dampak bagi beban APBN kita," tuturnya

Menurut Sri Mulyani pemerintah terus melakukan perbaikan kebijakan dengan konsolidasi fiskal secara bertahap.

"Kebijakan fiskal kita tahun depan masih berhubungan dengan di satu sisi memulihkan ekonomi tapi kita juga mulai bertahap melakukan konsolidasi. Recovery dan reform menjadi fokus pada 2021 dan 2022," jelasnya.

Sri Mulyani memastikan pemerintah akan mengelola utang dengan prinsip kehati-hatian (prudent) dan berkelanjutan (sustainable).

"Utang yang meningkat akibat pandemi dan berbagai kebutuhan akibat pandemi serta countercyclical, harus terus dikelola dengan dinamika lingkungan yang makin tidak mudah," pungkasnya.

(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER