"Walaupun saya tidak punya rumah dan masa depan di tanah kelahiran, Indonesia, tapi saya lebih memilih bekerja di sini daripada di negeri jiran," tutur Murti (42), eks pahlawan devisa atau pekerja migran (TKI) yang kini mengais rupiah di Tanah Air.
Murti tadinya bekerja sebagai penjahit di pabrik garmen di Malaysia. Bertahun-tahun ia mengeruk ringgit untuk dibawa pulang ke keluarga tercinta di Jawa Timur. Kini, ibu dua anak tersebut mengais rupiah menjadi pembantu di Pulau Dewata, Bali.
Murti cuma lulusan SD. Wawasannya minim. Berbekal nekat dan keinginan bertahan hidup, ia hijrah pertama kali ke Malaysia pada 1996 silam. Mengaku beruntung, ia mengklaim pundi-pundinya di negeri jiran cepat penuh. "300 ringgit besar loh saat itu," imbuhnya mengenang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :HUT RI ke-76 Ironi, Merdeka di Atas 27 Juta 'Perut Lapar' |
Dari jerih payahnya itu, ia sukses menyekolahkan anak-anak tercintanya hingga lulus SMU. Ia juga mampu mengirimi uang belanja untuk sang ibu, serta biaya pengobatan sang nenek. Wajahnya menyiratkan kebanggaan.
Tetapi, kerinduannya pada kampung halaman, anak-anaknya, ibu, dan keluarganya tak tertahankan. Ia pun memutuskan kembali ke Tanah Air sejenak. "Biarlah gaji jadi lebih kecil, asal dekat dengan keluarga," ujar Murti lirih.
Sayang, mencari pekerjaan di kampung halaman tidak semudah yang dibayangkan. Berangkat kembali ke Malaysia di tengah pandemi pun mustahil. Karenanya, ia memilih hijrah ke Bali dan kembali bekerja sebagai penjahit di Tabanan. Cuma 6-7 bulan, sebelum akhirnya ia mendapat tawaran menjadi pembantu di sebuah guest house.
"Saya nggak diminta ijazah kan untuk bekerja sebagai pembantu, jadi saya langsung mengiyakan ketika ditawari. Di sini saya sekarang, membersihkan 16 kamar, dua kali setiap minggu, di samping mencuci dan menyetrika," terang dia.
Lihat Juga :HUT RI ke-76 Babak Belur Ekonomi Dihajar 1,5 Tahun Pandemi |
Jam kerjanya panjang. Dalam sehari, Murti menghabiskan 12-13 jam selama enam hari dalam sepekan. Dari sana, ia mengantongi Rp2 juta setiap bulan. Cukup tidak cukup, ia berkomitmen mengirimi ibu dan keluarganya di kampung Rp400 ribu tiap bulan.
Sisanya, ia gunakan untuk membayar kontrakan, kredit motor yang baru selesai pada Januari 2022 mendatang, termasuk makan dan minum bersama suaminya. Suaminya sendiri tidak banyak berkontribusi lantaran profesinya sebagai tukang bangunan sepi di era pandemi.
Sebetulnya, Murti bergaji Rp2,8 juta per bulan. Tapi, pandemi covid-19 menggerogoti bisnis sang pemilik guest house. Dampaknya, gaji Murti ikut terpangkas. Murti hanya bisa pasrah. Mengeluh di saat pandemi, ketika banyak orang kesulitan mencari kerja, katanya, menandakan rasa kurang bersyukur.
"Bansos corona pun cuma dengar saja di tv, orang-orang ngomongin bansos. Tapi, saya tidak dapat. Karena saya tinggal di Bali, tapi KK (kartu keluarga) kan di Jawa Timur," jelasnya pasrah.
Cerita berbeda datang dari Dewy S, bekas pekerja migran di Sydney, Australia. Ia menyesal sempat mengeluh kelelahan bekerja di dua tempat sekaligus, berkaca pada kondisinya sekarang yang menganggur.
Pada Oktober 2020 lalu, saat pandemi masih melanda, ia memutuskan pulang ke Pontianak, Kalimantan Barat. Ia ingin mendampingi sang ayah yang sakit. Namun, dia tak membayangkan terjebak selamanya.
Ia ditolak masuk kembali ke Australia karena tak memiliki status tinggal permanen. Ia juga kehilangan pekerjaannya sebagai bartender di sebuah kelab di Sydney dan juru masak pastry di sebuah kafe. Ketika itu, Australia memperketat aturan keluar masuk di tengah lonjakan kasus covid-19.
Alhasil, Dewy menyandang status pengangguran sudah 10 bulan terakhir. Ia sempat menjajal bisnis menjual buah stroberi, tapi usahanya gagal. Dagangannya tidak laku seiring dengan lemahnya ekonomi masyarakat di daerah.
"Sedih sudah pasti. Kerja keras (di Sydney) 7 tahun sia-sia. Suka nangis kalau flashback (mengenang kembali), aku sudah usaha keras, tapi kok begini hasilnya gara-gara covid-19," ucapnya lesu.